BERAMAL BUKAN UNTUK TERKENAL
“Penulis yang terlena dengan banyaknya karya, silau dengan kemilaunya ketenaran, dan tertipu dengan manisnya pujian orang adalah penulis yang gagal.” (Dr. ‘Aidh AL-Qarni)
Kerja kepahlawanan di puncak peran mirip pendakian. Kumpulan perjalanan panjang kerja-kerja kecil yang konsisten. Tidak semua pendaki bisa mencapai puncak. Namun, untuk mencapai puncak harus memulai langkah pertamanya dari kaki gunung. Itu kaidahnya kepahwalawanan, kata Anis Matta.
Imam Syafi’i menulis banyak buku, tapi prestasi paling gemilangnya adalah temuannya atas ilmu ushul fiqh. Imam Ghazali banyak menulis kitab, namun Ihya Ulumiddin-lah yang paling dikenal. Ibnul Jauzi –yang bergetar melihat buku seperti melihat harta karun- menulis banyak kitab, namun Shoidul Khotir terus mengalir untuk dipelajari. Ibnu Taimiyah lebih dikenal Majmu’ Fatawa-nya. Hamka banyak menulis kitab sastra, sejarah, pemikiran, namun Tafsir al-Azhar-lah yang paling monumental. Sayyid Quthb produktif berjihad dengan pena harokahnya, namun fi zhilal dan Ma’alim Fi Thariq-lah yang paling apik. Yusuf Qardhawi dikenal lewat Fiqh Zakat-nya. Rahmat Abdullah penulis, tapi lebih dikenal sebagai sosok murobbi.
Mari kita simak nasihat ‘Aidh al-Qarni sebagai energi untuk meluruskan orientasi, menyergarkan motivasi. Mungkin terbersit di dalam hati “menulis untuk dikenal”. Astaghfirullah, ini perlu diluruskan.
Monumental tidaknya sebuah amal tidak perlu dirisaukan, kawan. Sebab, Allah memerintahkan kita untuk bekerja dan beramal “yang terbaik”, bukan mencari gelar, atribut duniawi, pangkat, level apalagi popularitas. Allah Ta’ala berfirman:
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".(QS. At-Taubah:105)
Integritas tidak identik dengan polularitas. Popularitas tidak menjamin kualitas. Sebab, pahalwan yang tidak dikenal justru jumlahnya lebih banyak daripada yang dikenal, iya kan? Padahal, merekalah orang-orang yang memiliki integritas dan tak sempat mengenyam “nikmat kemerdekaan”. Mengapa? Sebab,
“perjuangan itu dirintis oleh orang-orang yang alim, diperjuangkan oleh orang yang ikhlash, dimenangkan oleh para pemberani, namun sering kali hanya dinikmati oleh para pengecut.”
Kalau niat beramal hanya untuk cari popularitas, mari kita kaji ulang niat kita agar tidak terjebak pada “penjara riya’ dan sum’ah”. Bukankah telah banyak korban yang mati karena popularitas? Baik mematikan dirinya maupun mematikan orang-orang yang berdesak-desakan “sekedar untuk bersalaman” atau berjingkrak-jingkrak lupa daratan tak karuan. ada artis yang mati tragis, selebriti mati bunuh diri, seperti Kurzman di zaman Nabi yang ikut berjihad agar dikenal sebagai mujahid yang akhirnya mati bunuh diri menusukkan pedang atau tombaknya ke ulu hati. Maka, jangan sampai engkau berangkat berjihad lantaran frustasi, mencari mati karena nggak ada lagi harapan rezeki. Na’udzubillah.
Prestasi monumental bisa dimulai dari hal sederhana namun kaya makna. Mengubah diri menjadi lebih baik dan lebih berarti. Seperti Umar Bin Khothob, mengubah posisi dari penghalang dakwah menjadi pembela risalah. Khalid bin Walid mengubah diri dari penglima pasukan kafir menjadi panglima pasukan muslim. Dalam amal monumental itu manusianya sama (Khalid), namun fungsi dan perannya lebih mulia, karena iman telah bersemayam di hatinya.
(Dikutip dari tulisan Sholihin Abu Izzudin dalam bukunya, “ Hero, Happy Ending Full Barokah” halaman 148-151)

by: AIN NURWS

Post a Comment