Masih tentang Tafsir QS. An-Nuur ayat 32-34

Hukum kedua: apakah menikah itu wajib ataukah mustahab?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menikah terdiri dari beberapa madzhab sebagai berikut:
a.    Madzhab Dhahiriyah: bahwa menikah hukumnya wajib, dan orang yang meninggalkannya berdosa.
b.    Madzhab Syafi’iyyah: bahwa menikah hukumnya mubah, tidak berdosa jika ditinggalkan.
c.    Madzhab Jumhur (Al-Malikiyah, Al-Ahnaf, dan Al-Hanabilah): bahwa menikah hukumnya mustahab (disukai) dan mandub (dianjurkan), dan tidak wajib.

Dalil Dhahiriyah: Ahli Dhahiriyah berdalil bahwa shighat ayat mengenai nikah datang dengan lafadz amr (perintah) “وَأَنْكِحُوا” , sementara lafadz amr itu untuk wajib, maka menikah menjadi wajib. Dan bahwa menikah adalah jalan untuk menjaga diri dari keharaman. Dan sesuatu yang tidak bisa sempurna sesuatu yang wajib kecuali dengan adanya dia maka dia menjadi wajib, maka orang yang meninggalkannya akan berdosa.


Dalil Jumhur:  Jumhur mengambil dalil dari ulama salaf dan para fuqaha’ dari beberapa negri bahwa menikah tidaklah wajib, dan nikah hukumnya mandub (dianjurkan) dengan beberapa dalil yang akan kami ringkas sebagai berikut:
a.    Seandainya menikah hukumnya wajib maka tentu penukilan mengenai hal itu dari Nabi SAW dan dari ulama salaf terkenal dan banyak sekali karena umumnya kebutuhan terhadap menikah, dan tentu tidak akan ada orang yang tidak menikah pada masa Nabi SAW dan pada masa sahabat. Maka ketika kita menjumpai pada masa beliau SAW dan seluruh masa setelahnya ada bujang-bujang baik laki-laki maupun perempuan yang mereka tidak menikah dan Rasulullah SAW tidak mengingkari hal itu, maka hal itu menunjukkan bahwa menikah tidaklah wajib.
b.    Seandainya menikah hukumnya wajib, maka tentu seorang wali boleh memaksa janda untuk menikah, padahal memaksa janda untuk menikah tidak dibolehkan secara syar’i karena adanya hadis: “dan janganlah seorang janda dinikahkan sehingga ia dimintai izin”, maksudnya dia menyuruh dab ridha dengan pernikahannya.
c.    Al-Jashash: “Dan diantara hal yang menunjukkan bahwa menikah hukumnya mandub adalah kesamaan semua (baik hamba sahaya maupun orang merdeka) atas hukum bahwa seorang tuan tidak boleh memaksa untuk menikahkan budak laki-lakinya maupun budak perempuannya, dan budak ma’thuf (diathafkan/diikutkan) kepada lafadz “al-ayyama” (bujang-bujang), maka hal itu menunjukkan bahwa menikah itu mandub yang berlaku untuk semuanya (baik budak maupun orang merdeka).
d.    Sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang menyukai fitrahku maka hendaknya ia melakukan sunnahku. Dan sesungguhnya diantara sunnahku adalah menikah.
e.    Sabda Nabi SAW: Nikahilah wanita-wanita yang subur dan banyak kasih sayang, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian diantara para Nabi pada hari kiamat. 

Dalil Asy-Syafi’i: Al-Imam Asy-Syafi’i mengambil dalil bahwa menikah itu mubah, menikah hanya mendapatkan kelezatan dan menunaikan syahwat maka menikah itu mubah seperti makan dan minum.
Dan yang benar adalah pendapat Jumhur bahwa menikah itu mandub karena adanya hadis yang shahih: “barang siapa yang membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku”.

Dan ketahuilah bahwa perbedaan pendapat ini hanyalah dalam kondisi-kondisi kebiasaan yang manusia aman dari perbuatan yang haram. Adapun apabila manusia khawatir dirinya terjerumus pada zina, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa menikah menjadi wajib baginya, karena menjaga diri dan menjaga kehormatannya dari keharaman adalah wajib, maka tentu menikah wajib baginya.

Al-Qurthubi mengatakan: Ulama-ulama kita mengatakan: hukum menikah berbeda-beda karena perbedaan keadaan seorang mukmin (yang bisa) berupa takut “zina”, tidak sabar, kekuatan untuk bersabar, tidak adanya takut zina. Dan apabila seseorang takut binasa dalam agama atau dunia maka menikah menjadi suatu kepastian. Dan barang siapa yang jiwanya telah rindu untuk menikah maka jika seseorang mendapati (pada dirinya) “ath-thaul”/kekuatan, kekuasaan  maka dianjurkan untuk menikah, dan jika dia tidak mempunyai kekuatan tersebut maka dia wajib menjaga kehormatan diri selama memungkinkan meskipun dengan berpuasa, karena puasa merupakan perisai baginya sebagaimana yang ada dalam hadis shahih.

Diterjemahkan dari Kitab Tafsir "Rowaiul Bayan" karya Ash-Shabuni, jilid...hlm. 185

Post a Comment