Oleh: Ain Nurwindasari
Minggu, 17 Juni 2012
Pernah nonton Film “Di Bawah
Lindungan Ka’bah”? Ada salah satu pernyataan menarik yang hingga saat ini masih
saya ingat. Ialah nasihat sang Ibu kepada sang anak bernama Hamid—yang dalam
film ini Hamid adalah tokoh utama—ketika sang anak akan menjalani hukuman
dikeluarkan dari kampungnya lantaran dianggap telah melanggar hukum adat
menurut kesepakatan para tokoh adat setempat.
Ketika itu Hamid merasa berat
untuk menjalankan hukuman tersebut, bukan karena dia harus dikeluarkan dari
kampung, melainkan karena dia harus meninggalkan ibunya. Mungkin yang terbersit
dalam benak Hamid, sang ibu akan sendirian di rumah, dan dia sendiri akan
merindukan kasih sayang ibunya, nasihat dan perhatian ibunya seperti yang
selama ini ia rasakan. Dengan bijak, sang ibu yang bisa merasakan kegelisahan
anaknya mengatakan, “Jangan pernah merasa sendiri, nak. Allah selalu bersama
kita...”.
Nasihat ini bagi penulis sangat
menyentuh, karena suasana yang melatarbelakangi nasihat tersebut. Yakni
kekhawatiran sendiri, takut tidak ada yang menemani, takut terjadi sesuatu yang
membahayakan diri. Namun, lebih jauh lagi, penulis berfikir bahwa nasihat
“Jangan pernah merasa sendiri” itu juga bisa digunakan untuk situasi yang
berbeda. Bukan saja ketika kita takut sendirian, tapi ketika kita mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk melakukan keburukan lantaran tidak ada orang
yang melihat kita. Dalam situasi sendiri, ada banyak cara yang dilakukan oleh
orang lain. Salah satu kecenderungan manusia ketika sendiri adalah melakukan
hal-hal yang tidak baik. Tentu saja tidak semua orang demikian. Tapi sebagian
orang terbukti melakukan hal-hal buruk ketika sendiri.
‘Sendiri’ tidak hanya diartikan
seorang diri, akan tetapi sendiri dalam arti tidak ada pihak lawan yang berbeda
haluan dengan kita yang mengawasi kita. Sekelompok perampok memaknai arti
‘sendiri’ adalah ketika tidak ada petugas keamanan, ketika tidak ada polisi,
dan tidak ada kekuatan yang melebihi mereka yang bisa menghalangi mereka
melakukan aksinya. So, mereka nekat merampok mini market yang sedang dijaga
oleh penjaga mini market. Sekelompok perampok yang merampok mini market
tersebut merasa ‘sendiri’ karena tidak ada polisi yang mengawasi mereka, atau
tidak ada satpam yang mereka anggap bisa menghalangi mereka. Santri-santri di
pondok pesantren mengartikan ‘sendiri’ adalah ketika tidak ada
musyrif/musyrifah, ustadz/ah, atau kakak-kakak kelas yang bertugas sebagai
pemantau mereka. Mereka merokok di tempat gelap secara berjama’ah. Mereka
kelihatannya tidak sendiri, tapi mereka merasa ‘sendiri’, karena tidak ada
pengawas yang perlu mereka takuti.
Nah, nah, nah... apakah
kesendirian kita membuat kita ingin melakukan maksiat atau melanggar peraturan?
Segera ingat, bahwa Allah selalu mengawasi kita. Innallah ma’anaa. Allah
bersama kita. Apakah kesendirian kita membuat kita merasa sedih? Ingatlah,
bahwa Allah selalu membersamai kita. Situasi ‘sendiri’ yang tidak kita inginkan
sering kali justru terjadi pada diri kita. Saat ingin menuntut ilmu di tempat
yang jauh dari orang tua dan sanak kerabat, mungkin kita dirundung kekhawatiran
akan ‘kesendirian’. Tidak ada orang tua, saudara, dan kawan-kawan yang biasanya
mendampingi kita. Ingatlah, kita tidak pernah sendiri. Kita akan menemukan
kelaurga, saudara, dan kawan-kawan baru yang akan mendampingi kita ketika kita
jauh dari tempat tinggal kita.
JANGAN PERNAH MERASA SENDIRI.
Perasaan Kesendirian bisa memberikan dua peluang yang buruk; melakukan maksiat
dan merasa sedih. Meski tidak selamanya hal sendiri membuat kita masuk dalam
kedua peluang tersebut. Karena kesendirian juga kadang membuat kita lebih
leluasa melakukan amal tanpa ria’. So, hadapi ‘kesendirian’ kita dengan sikap
yang bijak. Manfaatkan apa yang ada dengan sebaik-baiknya.
Wallahu a’lam bishshowab.
Posting Komentar