RISALAH AIN NURWINDASARI[1]


[1]Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Risalah ini merupakan tugas akhir  PUTM yang disusun pada semester 6 tahun 2012.
BAB IV
KAJIAN TAFSIR Q.S. AL-JATSIYAH AYAT 23 DALAM BUKU PELAJARAN K.H.A DAHLAN
A.    Metode Penafsiran K.H Ahmad Dahlan Terhadap Q.S. Al-Jatsiyah Ayat 23
K.H Ahmad Dahlan tidak seperti para ulama mufasir lain yang memiliki metode penafsiran tertentu dalam menafsirkan al-Qur’an. Penafsiran yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan juga bukan merupakan penafsiran secara menyeluruh terhadap ayat-ayat al-Qur’an, karena K.H. Ahmad Dahlan hanya menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an yang disampaikannya kepada murid-muridnya. Oleh karena itu ditemukan kesulitan ketika akan diteliti metode penafsiran K.H. Ahmad Dahlan.
Jika penafsiran K.H. Ahmad Dahlan diteropong dari beberapa metode penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama lainnya, maka tidak ditemukan satu pun metode penafsiran al-Qur’an yang sama sekali sesuai dengan penafsiran K.H. Ahmad Dahlan. Namun demikian, menurut penulis, dari keempat metode panafsiran al-Qur’an yang telah dibahas pada bab dua yakni landasan teoritik, maka penafsiran yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada metode tafsir tematik.[1]
Hal ini dengan melihat cara K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak urut dari ayat satu ke ayat selanjutnya sesuai urutan dalam al-Qur’an, melainkan K.H. Ahmad Dahlan melakukan penafsiran berdasarkan tema yang sedang dibahas dalam majelis pengajiannya. Selain itu K.H. Ahmad Dahlan mencantumkan ayat-ayat lain yang sesuai dengan tema yang sedang dibahas. Hanya saja dalam melakukan penafsiran K.H. Ahmad Dahlan tidak menghimpun seluruh ayat yang berkaitan, hanya sebagian ayat yang dicantumkan dalam penafsiran yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas.

B.     Penafsiran K.H.A Dahlan Q.S. al-Jatsiyah Ayat 23
Berikut ini adalah petikan QS. al-Jatsiyah ayat 23 yang menjadi salah satu ayat pilihan K.H Ahmad Dahlan dan mendapatkan perhatian besar dari K.H Ahmad Dahlan dan kemudian ditafsirkannya:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
Bagaimana pendapatmu mengenai orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?

Melalui ayat diatas, Allah memperingatkan kepada hamba-Nya untuk memperhatikan orang yang meninggalkan petunjuk disebabkan menuruti hawa nafsunya. Sehingga seolah-olah ia menganggap hawa nafsunya sebagai Tuhan yang dia sembah selain Allah. Ayat tersebut juga menjadi isyarat betapa tercelanya hawa nafsu.
Beberapa ulama telah mendefinisikan hawa nafsu. Diantaranya ialah Ibnu Saydah, dalam kitab Lisanul Arab mendefinisikan hawa nafsu sebagai kehendak jiwa.[2] Dan al-hawaa sendiri sebagai kerinduan yang terdapat pada tempat-tempat masuknya kebaikan dan keburukan.[3] Sementara penulis kitab al-Munjid fil lughoti wal adabi wal ulumi mengatakan al hawaa  merupakan masdar dari kata hawiya, hawa artinya kerinduan pada kebaikan maupun keburukan.[4] Hawa nafsu bisa pada hal-hal yang terpuji dan bisa juga pada hal-hal yang tercela. Namun sering kali hawa nafsu cenderung pada hal-hal yang tercela.[5]
K.H Ahmad Dahlan, dalam kajiannya terhadap QS. al-Jatsiyah ayat 23 berusaha mengungkapkan penafsirannya mengenai akibat buruk orang yang menuruti hawa nafsu. K.H Ahmad Dahlan kemudian memberikan beberapa penjelasan agar manusia tidak menuruti hawa nafsunya yang berujung kepada kebinasaan bagi diri sendiri maupun lingkungannya. K.H Ahmad Dahlan tidak menyuruh agar manusia membunuh hawa nafsunya, akan tetapi K.H Ahmad Dahlan mengajak agar manusia membersihkan hawa nafsunya dari kebiasaan-kebiasaan.[6]
1.      Hawa Nafsu dan Pengaruhnya dalam kehidupan manusia
Tidak diragukan lagi bahwa hawa nafsu memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia, karena hawa nafsu bisa mengendalikan manusia dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan. Berikut ini merupakan pandangan K.H. Ahmad Dahlan dalam menanggapi ayat 23 dari QS. Al-Jatsiyah.

a.      Menghambakan diri kepada hawa nafsu adalah musyrik
Menurut K.H Ahmad Dahlan menghambakan diri kepada hawa nafsu adalah bentuk kesyirikan. Syirik ialah menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal rububiyah[7] dan ilahiyah.[8] Menurut K.H Ahamd Dahlan, kita sebagai manusia dilarang menghambakan diri kepada siapapun atau benda apapun juga, kecuali hanya kepada Allah semata. Barang siapa yang menghambakan diri pada hawa nafsunya, artinya mengerjakan apa saja yang diinginkan, dengan didorong oleh hawa nafsu, maka sama halnya orang tersebut musyrik.[9] Apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang menyembah berhala pun disebabkan kebiasaan dan hawa nafsu orang tua serta nenek moyang mereka yang mereka patuhi.[10]
Pandangan K.H Ahmad Dahlan ini didasarkan pada QS. at-Taubah ayat 24:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (24)
Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Pada ayat di atas, Allah memberikan ancaman kepada orang yang menjadikan cintanya—yang disebabkan oleh hawa nafsunya—kepada sesuatu yang selain-Nya melebihi cinta kepada-Nya, maka orang tersebut tinggal menunggu keputusan dari Allah berupa hukuman yang akan ditimpakan kepadanya kelak.[11]


b.      Berhala hawa nafsu adalah pokok berhala yang menyesatkan
Berhala dalam pengertian yang kita pahami selama ini ialah patung dewa atau sesuatu yang didewakan yang disembah dan dipuja.[12] Ketika manusia telah menjadikan sesuatu sebagai yang disembahnya, maka yang terjadi adalah ketundukannya terhadap yang disembahnya itu. Maka sesembahannya itu menjadi berhala dalam kehidupannya. Begitu pula hawa nafsu. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, hawa nafsu yang selalu dituruti adalah berhala, bahkan sebagai pokok berhala yang menyesatkan.[13]
Karena merupakan pokok dari berhala, maka pengaruh hawa nafsu ini sangat kuat pada diri manusia. Akibatnya, hawa nafsu membuat manusia tidak dapat membedakan antara sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah, sehingga manusia yang dikuasai oleh hawa nafsu tidak ubahnya seperti hewan karena telah terjajah oleh hawa nafsunya.[14] Keadaan manusia yang tidak bisa membedakan antara sesuatu yang benar dan yang salah inilah yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai keadaan manusia yang tersesat.

c.       Hawa Nafsu Membuat Manusia Melupakan Akibat-akibat Perbuatannya.
Setiap perbuatan tidak terlepas dari akibat di masa yang akan datang, baik dalam waktu dekat maupun dalam waktu yang lama. Hukum sebab-akibat merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri oleh seorang pun. Lebih jauh lagi, perbuatan manusia tidak hanya berakibat di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Namun manusia yang dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu tersebut, ia tidak dapat berpikir jernih mengenai akibat perbuatan yang ditimbulkan oleh hawa nafsunya, baik akibat yang terjadi di dunia maupun akibat di akhirat. Padahal, segala sesuatu yang hanya didasarkan pada nafsu semata biasanya akan menimbulkan mafsadah , bukan maslahah. Oleh karena itu, K.H. Ahmad Dahlan menegaskan bahwa orang yang berbuat atas dasar menuruti hawa nafsu belaka, akan menemui akibat buruk dari perbuatannya itu. Akibat perbuatannya itu menimbulkan kekacauan, kerusakan, dan kerugian kepada masyarakat baik dalam bangsa dan negara.[15]
Telah jelas bahwa hawa nafsu pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan manusia. Hawa nafsu bisa membuat manusia bahagia, namun juga bisa sebaliknya, hawa nafsu menyebabkan manusia kehilangan kebahagiaannya. Hawa nafsu jika dibiarkan maka akan mengalahkan otoritas akal sebagai pengendali manusia. Oleh sebab itu manusia harus berusaha melawan hawa nafsu, dalam pengertian hawa nafsu yang mengarahkan kepada jalan yang tidak sesuai dengan Islam.
K.H. Ahmad Dahlan menegaskan bahwa sesungguhnya asal manusia dilahirkan adalah dalam keadaan suci. Kemudian hawa nafsu mempengaruhinya. Demikian juga orang tua, lingkungan pergaulan, guru-guru dan rumah tangganya, mereka semua turut mempengaruhi manusia.[16] Pada umumnya manusia telah tenggelam di tengah-tengah lautan kebiasaan yang telah melekat erat pada hawa nafsu dan keinginannya.[17]

d.      Hawa Nafsu Mengurangi kemurnian Ibadah kepada Allah
Manusia yang telah mengerti sunnah-sunnah Nabi belum berarti dapat menjalankan pelajaran-pelajaran al-Qur’an bila masih ada nafsu di hati dan menjadi berhala dalam diri. Artinya, hidup belum berdasarkan pada penghambaan diri kepada Allah, tapi masih berdasarkan kesenangan dna kebiasaan masyarakat umum.[18] Jadi, jika manusia ingin menghambakan diri kepada Allah dengan tulus ikhlas, manusia harus bisa membersihkan diri dari hawa nafsu.



2.      Cara Melawan Hawa Nafsu
Seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, pengaruh hawa nafsu sangat besar dalam kehidupan manusia. Hawa nafsu yang selalu dituruti dapat menjerumuskan manusia kepada kehinaan dan menjauhkan mereka dari jalan kebahagiaan. Oleh karena itu, menurut K.H. Ahmad dahlan, umat Islam tidak akan bahagia hidup di dunia maupun di akhirat apabila tidak dapat melawan hawa nafsunya.[19] Manusia hanya bisa mencapai kebahagiaan dengan melawan hawa nafsu kemudian hanya tunduk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. 

a.      Bertakwa Kepada Allah SWT
Bertakwa kepada Allah merupakan jalan satu-satunya menuju kebahagiaan hakiki. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى (17)
Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. (QS. Al-Lail [92] :17)

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ أُكُلُهَا دَائِمٌ وَظِلُّهَا تِلْكَ عُقْبَى الَّذِينَ اتَّقَوْا وَعُقْبَى الْكَافِرِينَ النَّارُ (35)
Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka. (QS. Ar-Ra’d [13]:35)

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, takwa kepada Allah adalah pangkal segala kebajikan, sedangkan menurut hawa nafsu adalah pangkal dari segala keburukan.[20]

b.      Membuang Kebiasaan
Kebiasaan yang dilakukan oleh manusia membuat manusia melakukan sesuatu tanpa harus berpikir terlebih dahulu. Manusia digerakkan oleh kebiasaan. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, manusia yang ingin melawan hawa nafsu harus membuang kebiasaan-kebiasaan. Bahkan apa yang dianggap sebagai aqaidul iman (akidah keimanan) belum tentu adalah akidah keimanan yang sesungguhnya. Apa yang dianggap oleh manusia sebagai akidah keimanan masih memiliki kemungkinan merupakan haditsunnafsi (omongan hati dan gambaran bayangan nafsu) belaka, sehingga yang disembah oleh hati bukan Allah, tetapi justru berhala hawa nafsu, atau kebiasaan yang disukai oleh hawa nafsu.[21]





c.       Menyerahkan Harta Benda dan Jiwa Raga kepada Allah
Kenikmatan dan kesenangan duniawi, keindahan dan perhiasan dunia merupakan dorongan dan tuntutan hawa nafsu.[22] Hawa nafsu akan selalu memiliki kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat dunia, kecuali hawa nafsu yang dirahmati oleh Allah.[23] Oleh karena itu, manusia ditantang untuk menyerahkan apa yang dicintai oleh hawa nafsunya berupa harta benda untuk kepentingan syariat sebagai bukti melawan hawa nafsu. Bahkan berani menyerahkan jiwa dan raga kepada Allah sebagai bukti ketundukannya kepada Allah dan perlawanan terhadap hawa nafsu.[24]

3.      Cara Membersihkan Hawa Nafsu
Menurut K.HA. Dahlan, cara membersihkan hawa nafsu ada beberapa jalan, yakni; dengan ingat kepada Allah, dengan shalat, dan dengan mengingat bahaya hari akhir. Cara yang pertama dan yang kedua berdasarkan QS. Asy-Syams ayat 9:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
“Sungguh bahagia orang-orang yang membersihkan nafsunya”.

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (2)
 “Dialah Allah yang mengutus seorang utusan dari antara mereka dan orang-orang yang membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka dan yang menyucikan dan yang mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka.” (QS. Al-Jumu’ah;2)
Kedua ayat di atas mendorong manusia untuk mensucikan diri (jiwa). Hanya dengan mensucikan jiwa manusia dapat mencapai keberuntungan (kebahagiaan).
a.      Dengan ingat kepada Allah (dzikrullah)
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membersihkan hawa nafsu ialah berdzikir kepada Allah. Disebutkan dalam QS. Ar-Ra’du ayat 28:
...أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (28)
“...ingatlah hanya dengan dzikir kepada Allah hati menjadi tenang”.

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, ingat kepada Allah ada beberapa macam tingkatan:
·         Ingat kepada makhluk dapat ingat kepada pekerjaan, ingat kepada sifat Allah yang sempurna.
·         Ingat kepada ayat-ayat Allah dapat ingat kepada Agama Allah.
·         Ingat kepada kenikmatan Allah itu dapat ingat kepada nama Allah, ingat kepada Dzat Allah.
·         Ingat kepada Allah itu ingat kepada menyebut nama Allah dengan menyebut nama-Nya di bibir.[25]
Jadi, ingat kepada Allah bisa dilakukan dengan ingat kepada pekerjaan (perbuatan), yakni dengan cara seseorang memperhatikan apakah yang dikerjakannya bertujuan untuk menyembah Allah ataukah hanya karena nafsu belaka. Selanjutnya adalah ingat kepada ayat-ayat Allah, dengan cara membacanya atau menghafalnya lalu mentadabburinya. Kemudian ingat kepada kenikmatan Allah dan ingat kepada Allah dengan cara menyebut nama Allah al-asmaa al-husnaa. Dengan cara itulah manusia bisa ingat kepada Allah.
Di samping beberapa hal mengenai ingat kepada Allah yang telah disebutkan di atas, lebih jauh lagi K.H. Ahmad Dahlan menjelaskan mengenai ingat kepada Allah dalam hati. Maksud dari ingat kepada Allah dalam hati ialah sebagai berikut:
Ingat dalam hati:
1.      Ingat kepada Allah dengan sungguh ingat hingga lupa kepada yang lainnya, seakan-akan melihat kepada Allah.
2.      Ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, tidur di segala tempat dan waktu.
Mengenai hal ini, terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 191:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ...
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring...”

3.      Ingat kepada Allah dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dengan mengucap: Laa ilaaha illallah.
4.      Dalam menerima kenikmatan ingat kepada Allah dengan mengucap : asy-syukru lillah.
5.      Dalam waktu melihat yang haram mengucap: Subhanallah (Maha Suci Allah).
6.      Dalam rasa salah/berdosa ingat kepada Allah dengan mengucap Astaghfirullah (aku minta ampun kepada Allah).
Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 135:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ...
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka...”

7.      Dalam waktu ada musibah/ujian kesusahan ingat kepada Allah dengan mengucap : Inna lilllahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kita ini milik Allah dan sungguh kita akan kembali kepada-Nya), atau mengucap; Hasbunallahu wani’mal wakil (Allah lah yang mencukupi aku dan Dialah yang sebaik-baik yang diserahi).
Allah berfirman:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156)
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (QS. Al-Baqarah:156)

8.      Apabila ingat kepada qadla dan qadar (bagaimana nanti) aku ingat kepada Allah dengan mengucap : Tawakkaltu ‘alallah (aku menyerah kepada Allah).
9.      Apabil terdapat ajakan taat atau godaan maksiat aku mengucap: Laa haula wa laa quwwata illaa billah.(Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
10.  Dan tiap-tiap gerak-gerik dan segala tingkah dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim.[26]
Dengan demikian, jelaslah bahwa membersihkan hawa nafsu bisa dilakukan dengan brdzikir kepada Allah yakni dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah. Dalam setiap kondisi ada kalimat thayyibah yang bisa diucapkan dalam rangka berdzikir kepada Allah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Berdzikir kepada Allah dapat dilakukan dalam kondisi apapun dan dimanapun, baik dalam hati maupun diucapkan.

b.      Dengan shalat
Cara membersihkan hawa nafsu juga bisa dilakukan dengan cara memperbanyak shalat seperti shalat wajib 5 kali, shalat qabliyah dan ba’diyah, shalat tahajud/witir, shalat istkharah, shalat hajad, shalat idul fitri dan hari raya qurban, shalat gerhana (matahari/bulan), shalat istisqa’ (minta hujan), dan lain-lain.[27] Dalam hal ini, yang dimaksud dengan memperbanyak shalat adalah shalat yang dituntunkan oleh Rasullullah SAW.
Cara membersihkan hawa nafsu dengan shalat merupakan cara yang utama, karena Allah berfirman dalam QS. Thaha ayat 14 :
...وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي (14)
“...dirikanlah shalat untuk ingat kepada-Ku”.

Ingat kepada Allah dengan sungguh-sungguh itu menimbulkan ketenangan dan menjaga diri dari nafsu.[28] Hal ini menunjukkan bahwa mengingat kepada Allah tidak cukup tanpa ada kesungguhan dalam jiwa untuk membersihkan hawa nafsu. Begitu pun jika shalat hanya sekadar gerakan dan bacaan-bacaan tanpa membawa hati hadir dalam shalat tidak akan berdampak bagi pengekangan hawa nafsu.

c.       Dengan memikir bahaya-bahaya akhirat
Selanjutnya, untuk membersihkan hawa nafsu bisa dilakukan dengan cara mengingat bahaya-bahaya akhirat. Karena sebagian besar manusia cenderung melupakan kehidupan akhirat sehingga yang dipentingkan hanyalah kehidupan dunia. Sebagaimana yang tersebut dalam Surat al-A’la ayat 14-17:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15) بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Sungguh bahagia orang yang membersihkan dirinya dari hawa nafsunya dan ingat nama Tuhan lalu menjalankan shalat, tetapi kebanyakan kamu sekalian masih memilih kehidupan dunia, padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”
Orang yang membersihkan hawa nafsu adalah orang yang suci, dengan catatan cara membersihkannya sesuai dengan yang dituntunkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sedangkan cara di luar yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukanlah cara membersihkan hawa nafsu yang mensucikan diri. Seperti yang dilakukan oleh orang non Islam yang mengekang hawa nafsu mereka, seperti orang Hindu, Budha, Nasrani, ataupun agama-agama lainnya. Mereka berusaha tidak menuruti hawa nafsu yang ada pada jiwa mereka dengan cara berpuasa berhari-hari berturut-turut, tidak menikah, tidak melakukan aktifitas lain kecuali di gereja. Mereka memang melawan hawa nafsu, tapi apa yang mereka lakukan tidak dapat membuat mereka menjadi suci karena bertentangan syariat Islam.
4.      Kesungguhan dalam Melawan dan Membersihkan Hawa Nafsu
Untuk mencapai keberhasilan dalam usaha apapun dibutuhkan kesungguhan. Demikian pula usaha yang dilakukan dalam mencapai tujuan melawan hawa nafsu dan membersihkannya dalam jiwa juga membutuhkan kesungguhan dan konsistensi serta bukti. Artinya, dzikir kepada Allah, shalat, dan mengingat bahaya akhirat bukan dilakukan hanya sebagai formalitas belaka.
a.      Memalingkan diri dari mencintai dunia kepada mencintai Allah
Semua usaha untuk melawan hawa nafsu harus dibuktikan secara nyata, salah satunya dengan memalingkan diri dari cinta dunia kepada mencintai Allah. Orang yang masih lebih memilih dunia daripada Allah, masih tidak suka mempergunakan harta benda untuk dibelanjakan di jalan Allah, masih tidak menghargai anak yatim, masih tidak memberi makan kepada fakir miskin, masih membedakan antara orang miskin dengan orang kaya, maka dia belum sungguh-sungguh dalam melawan dan membersihkan hawa nafsu. Pertanyaan K.H. Ahmad Dahlan: Apakah hasil dari ingat (dzikir) kepada Allah? Apakah manfaatnya shalat? Apakah pengakuan sucimu? Terbukti bahwa kamu masih sangat kerap dengan kebiasaan dan cinta kepada harta benda?[29]
b.      Meninggalkan kebiasaan
Manusia cenderung mencintai kebiasaan daripada mencoba hal-hal baru. Mencintai kebiasaan menjadi bagian dari fitrah manusia karena telah menemukan perasaan nyaman dengan apa yang biasa dilakukan. Sedangkan melakukan hal-hal baru akan menimbulkan kekhawatiran akan kehilangan rasa nyaman dan membutuhkan penyesuaian diri, bahkan timbul kekhawatiran akan menghadapi kesulitan. Meninggalkan kebiasaan terasa berat bagi sebagian manusia, meskipun mereka tahu kebiasaan yang dicintainya adalah kebiasaan buruk, bahkan bertentangan dengan kehendak Allah.
Melawan dan membersihkan hawa nafsu membutuhkan bukti berupa meninggalkan kebiasaan. Memang hal ini berat, namun justru dari beratnya suatu pekerjaan membuat pekerjaan itu bernilai. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, yang dipentingkan dalam membersihkan hati adalah jangan sampai kita diperbudak oleh kebiasaan.[30]

5.      Tafakur, Muhasabah dan Muraqabah
Akhir dari perjalanan melawan hawa nafsu dan membersihkannya pada diri manusia adalah Tafakur, Muhasabah serta Muraqabah.[31] Kata tafakur menurut Kamus al-Munawwir ialah berasal dari kata tafakkara-yatafakkaru-tafakkuran yang artinya memikirkan, teringat dan terkenang.[32] Sedangkan muhasabah berasal dari haasaba-yuhaasibu-muhaasabatan yang artinya membuat perhitungan.[33] Adapun muraqabah berasal dari kata raaqaba-yuraakibu-muraaqabatan mengandung arti mengawasi, memimpin, memeriksa, menjaga dan mengawal.[34]
Dengan jalan tafakur dimaksudkan manusia memikirkan usaha yang telah  dilakukan yakni usaha melawan hawa nafsu dan membersihkannya agar tidak mudah kembali kepada kebiasaan. Kemudian hendaknya manusia melakukan koreksi diri (muhasabah) kemudian mengawasi diri sendiri (muraqabah) atas apa yang telah dan sedang dilakukannya. Hal ini dilakukan dalam rangka membentengi diri dari hawa nafsu yang bisa menjerumuskan manusia kepada kesesatan dan menjauhkan mereka dari kebahagiaan. K.H. Ahmad Dahlan memberi contoh pertanyaan pada diri sendiri sebagai langkah tafakur: Bagaimanakah akibatnya pada diriku dan hari akhir? Akankah menempuh/menghadapi perjalanan sesudah meninggalkan dunia yang fana; jasmani menjadi tanah, ruhani akan dipaksa masuk ke alam ghaib yang amat gelap (menutup akal), alam yang belum kita kenal, dan disana menghadap ke Mahkamah Yang Maha Agung? Apakah diriku akan disiksa karena aku tidak taat mengamalkan perintah-perintah-Nya?Apakah aku akan mendapatkan keridlaan Allah, karena aku ikhlas beribadah kepada Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah?[35]
Telah jelas bahwa melawan hawa nafsu harus diikuti dengan tafakur, muhasabah serta muraqabah yang akan menghasilkan pribadi yang kuat dan suci. Kuat dalam arti tidak mudah tergoda oleh bujukan hawa nafsu, dan suci bermakna bersih dari hawa nafsu yang kotor.

6.      Membuat Peringatan untuk Diri Sendiri
Berikut ini adalah peringatan yang pernah ditulis oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam papan tulis dekat meja tulisnya:
ياَ دَحْلاَنْ , إِنَّ الْهَوْلَ أَعْظَمُ وَ الْأُمُوْرُ الْمُفْظِعاَتُ أَماَمَكَ وَ لاَ بُدَّ لَكَ مِنْ مُشاَهَدَةِ ذَالِكَ إِمّاَ بِا النَّجاَةِ وَ إِمّاَ بِا الْعَطَبِ
ياَ دَحْلاَنْ , قَدِّرْ نَفْسَكَ وَحْدَكَ مَعَ اللهِ وَ بَيْنَ يَدَيْكَ الْمَوْتُ وَ الْاَرْضُ وَ الْحِساَبُ وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ وَا تأَمُّلْ فِيْماَ يُدْنِيْكَ مِمَّا بَيْنَ يَدَيْكَ وَدَعْ عَنْكَ ماَ سِوَاهُ.
“Hai Dahlan, sesungguhnya bahaya yang menyusahkan itu lebih besar, dan perkara-perkara yang mengejutkan di depanmu, dan pasti kau akan menemui kenyataan yang demikian itu, ada kalanya kau selamat atau tewas menemui bahaya.
Hai Dahlan, bayangkanlah dirimu sendiri hanya berhadapan dengan Allah saja, dan di mukamu bahaya maut akan diajukan, hisab atau peperiksaan, surga dan neraka. (Hitungan yang akhir itulah yang menentukan nasibmu).
Dan fikirkanlah, renungkahlah apa-apa yang mendekati kau daripada sesuatu yang ada di mukamu (bahaya maut) dan tinggalkanlah yang selainnya itu.”
Untaian kalimat di atas dapat dijadikan penyemangat dan pemberi peringatan bagi penulisnya sendiri. Hal itu menunjukkan kesungguhan dari pemilik jiwa yang berusaha melakukan perlawanan terhadap hawa nafsu dan mensucikan diri dari kotoran-kotoran hawa nafsu yang tidak mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Pada akhirnya, perlawanan terhadap hawa nafsu tidak bisa dilakukan secara parsial, akan tetapi membutuhkan totalitas kesungguhan dalam hati dan tindakan nyata.


[1] Pada bab II telah disebutkan mengenai definisi tafsir tematik, yakni tafsir yang membahas tentang masalah-masalah al-Qur’an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya untuk kemudian melakukan analisis terhadap isi kandungannya, untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya, serta menghubungkan antara yang satu dan lainnya dengan korelasi yang bersifat komprehensif
[2] Ibnul Mandzur, Lisanul ‘Arab, hlm. 848.

[3] Ibid.

[4] Al-Munjid fil lughoti wal adabi wal ulumi, (Beirut).

[5] Ibid. Mengenai kecenderungan hawa nafsu kepada hal-hal yang tercela, Allah menyebutkan dalam QS. al-A’raaf ayat 176, “....dan dia menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing”. Juga dalam QS. Sad ayat 26, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”

[6] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan, 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat al-Qur’an, (Yogyakarta:LPI PPM, 2008), cet. ke-III, hlm. 51.

[7] Menghambakan diri kepada hawa nafsu  ini bertentangan dengan tauhid rububiyah. Tauhid Rububiyah ialah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya yang menciptakan, memberi rizqi, memlihara, mengelola dan memiliki segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Sedangkan tauhid ilahiyah ialah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya yang patut diibadahi.

[8] Sholih Bin Fauzan Bin Abdillah Ali Fauzan, Aqidatu at-Tauhid, hlm. 51.

[9] KRH. Hadjid, Pelajaran..., hlm. 46.

[10] Ibid.

[11] Tafsir al-Qaththan, Maktabah Syamilah

[12] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1989), cet. ke-II, hlm. 139.

[13] KRH. Hadjid, Pelajaran..., hlm. 47

[14] KRH. Hadjid, Pelajaran..., hlm. 47
[15] KRH. Hadjid, Pelajaran..., hlm. 47.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] hlm. 51

[19] Ibid, hlm. 48.

[20] Ibid.
[21] Ibid. hlm. 50.

[22] Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar, Cet. ke-22 (Jakarta:Gema Insani, 2006), hlm. 40

[23] Dalam QS. Yusuf ayat 53 Allah mengisahkan perkataan Yusuf: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

[24] KRH Hadjid, Pelajaran..., hlm. 50
[25] Ibid,  hlm. 54.
[26] Ibid,  hlm. 55.

[27] Ibid,  hlm. 57.

[28] Ibid, hlm. 57.
[29] Ibid, hlm. 59.

[30]Ibid.

[31]Ibid.

[32]   A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif), hlm. 1068.

[33]Ibid,  hlm. 261.

[34] ibid, hlm. 516.

[35] KRH Hadjid, Pelajaran..., hlm. 59.

2 Komentar

  1. bagus ukhti tulisannya, izin untuk dshare .

    BalasHapus

Posting Komentar