Kamis, 18 Oktober 2012
Agar apa yang kita bahasa di ruang kelas tadi pagi tidak
hilang begitu saja. Mungkin ini adalah salah satu cara saya untuk
merealisasikannya.
Pemahaman sunnah Muhammad Syaltut dalam bukunya yang
berjudul Islam, akidah, dan syariah. Kira-kira itu yang sedang kami bahas tadi
pagi dalam pertemuan mata kuliah Ilmu Ma’anil Hadis. Mahmud Syaltut membagi
sunnah menjadi: sunnah tasyri’ dan ghairu tasyri’. Tidak semua hadis yang kita
terima dapat diamalkan, bukan hanya karena faktor pertentangannya dengan al-Qur’an.
Kalau itu sih sudah sangat jelas.
Sunnah—menurut Mahmud Syaltur, demikian disampaikan oleh
saudara pemateri: Muhammad Fathur dan Ardiansyah—terbagi menjadi dua yakni
tasyri’ dan ghairu tasyri’. Sunnah tasyri’ maksudnya adalah sunnah yang wajib
dilaksanakan oleh umat Islam, baik yang bersifat ‘amm (umum) dan khas (khusus).
Sunnah ghairu tasyri’ maksudnya adalah sunnah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
bukan dalam kapasitasnya sebagai Rasul.
Sunnah tasyri ‘amm tidak ada cara lain dalam memahaminya
kecuali secara kontekstual. Artinya, apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad,
baik berupa suatu perkataan maupun perbuatan harus dilakukan seperti dalam hadis
tersebut. Misalnya, tata cara berpakaian ihram bagi jama’ah haji dan umrah.
Tata cara berpakaian ihram ini harus dilakukan sebagaimana Nabi melakukan.
Tidak boleh umat Islam dengan berbagai alasan mendesak mengganti desain, warna,
model, dan lain-lain yang ada pada baju ihram.
Sedangkan sunnah tasyri’ khas ialah sunnah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dalam kapasitasnya
sebagai hakim ataupun sebagai pemimpin masyarakat.
Sunnah ghairu tasyri’ bisa dilihat dengan kriteria sebagai
berikut:
- Yang dilakukan oleh Nabi sebagai kebutuhan dasar manusia seperti makan, minum, tidur dan lain-lain.
- Pengalaman atau kebiasaan individual, seperti contohnya: Nabi makan dengan mengangkat kaki kanan, atau Nabi tidur dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri.
- Strategi manusiawi terkait dengan situasi dan kondisi. Contoh, cara membuat pohon kurma menjadi produktif.
Sunnah ghairu tasyri’ tentu saja tidak harus dilakukan oleh
umat Islam ketika situasi dan kondisi yang dihadapi saat ini sudah sangat
berbeda dengan sikon yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saat itu. Misalnya, ke
pasar naik onta. Jaman sekarang sudah banyak alat transportasi yang mudah dan
murah, “ngapain naik onta? mending naik Toyota..”. Dengan kata lain, sunnah
ghairu tasyri’ ataupun sunnah tasyri’ yang bersifat khas memungkinkan untuk
difahami secara kontekstual.
Adapun untuk mengetahui sunnah tasyri’ ialah bahwa sunnah
tersebut menyangkut masalah, pertama: akidah; kedua: akhlak; ketiga: ibadah
(amaliah).
Dalam hal akidah, apa yang disampaikan oleh hadis tentang
akidah, pasti sudah ada dalam al-Qur’an. Artinya, hadis tidak bisa menentukan
akidah ketika dalam al-Qur’an tidak menyebutkannya. Dalam hal ini, hadis
berperan sebagai bayan taukid (penjelasan yang memperkuat), meskipun fungsi
utama hadis adalah sebagai bayan tafsir (penjelasan yang
menjelaskan/menafsirkan) terhadap al-Qur’an.
Cara makan dengan tangan kanan, kenapa menjadi sunnah tasyri’?
hal ini karena cara makan dengan tangan kanan sudah masuk wilayah akhlak/etika.
Tidak ada cara lain kecuali mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasul. Begitu
juga dengan masuk toilet dengan kaki kiri terlebih dahulu dan berdoa terlebih
dahulu, ini masuk wilayah akhlak.
Siapa yang berhak/mempunyai otoritas untuk menentukan sebuah
sunnah merupakan tasyri’ atau ghairu tasyri’? Jawabnya: siapa saja, dengan
kualifikasi tertentu. Tentu saja tidak semua orang bisa menentukan bahwa sebuah
sunnah adalah tasyri’ atau ghairu tasyri’. Orang yang tidak mempunyai latar
belakang pendidikan yang memadai (baik formal maupun informal) berkaitan dengan
sunnah, tentu tidak berhak hanya dengan mengira-ngira bahwa suatu sunnan tasyri’
atau ghairu tasyri’.
Dari
penjelasan di atas, sunnah Nabi
dibedakan menjadi :
- Sunnah Tasyri’iyah, yaitu sunnah yang bersifat penetapan ajaran, yang mengikat kepada kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat sunnah yang mengikat secara umum kepada setiap individu muslim secara langsung, dan ada yang otoritasnya menunggu legalitas dari kepala negara (imam) atau hakim (qadli) terlebih dahulu.
- Sunnah ghairi tasri’iyah, yaitu sunnah yang tidak bersifat sebagai penetapan ajaran agama yang mengikat kaum muslimin.
- Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa sunnah Nabi ada yang bersumber dari kerasulan Muhammad dan ada sunnah Nabi yang berasal dari basyariyah Muhammad.
Dengan demikian, ketika kita menghadapi hadis Nabi dan kita
tahu Nabi dalam kapasitasnya sebagai apa, maka akan menjadi mudah apa yang
harus kita lakukan.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa
kelompok di antara umat Islam yang tidak setuju dengan konsep di atas. Ini
hanyalah tawaran. Apapun yang kita pelajari (termasuk bagaimana memahami sunnah
sebagai tasyri’ dan ghairu tasyri’) bukanlah harga mati. Jika ada tawaran yang
lebih baik, tentu saja itu lebih bagus.
Apa yang digagas oleh Mahmud Syaltut ini bukanlah yang
pertama. Al-Qarafi sebelumnya telah menyatakan bahwa ketika kita berhadapan
dengan hadis Nabi kita hendaknya melihat dimensi Nabi sebagai Rasul dan bukan
rasul.
Demikian. Wallahu a’lam bishshowab.
Mohon koreksi jika ada yang kurang tepat. Nuwun...
Inspirasi buat skripsi: Klasifikasi metode pemahaman hadis
Mahmud Syaltut
Oleh: Ain NurWS
wah.. jadi ingat risalahku hehe. Klo dalam teori pemahaman kontekstual, yang ini disebut prinsip klasifikasi.. yup, setidaknya yang pertama adalah al-Qarafi, lalu setelah Mahmud Syalthuht, masih ada mbah Qaradhawii
BalasHapusPosting Komentar