Pagi itu seperti biasanya, aku pulang dari pasar langsung menuju dapur. Lauk dan sayur untuk sarapan pagi telah siap. Lauk dan sayur ntukku dan ustadz Ahmad diletakkan di etalase yang berdiri di sebelah dinding timur dapur. Aku segera ambil dua piring untuk nasi, sayur dan lauk ustadz Ahmad. Setelah lauk dan sayur siap, aku menghampiri beliau untuk meminta izin meletakkan makanan itu di kamarnya Gad. Beberapa saat kemudian terdengar suara piring dan sendok yang beradu pelan dari bilik kamar Gad. Asrama ini semakin terkesan sepi pagi ini. Ya, karena kemarin sebagian thalibat (santri) mohon izin pulang ke kampung halaman masing-masing untuk ikut pemilu.


Aku sedang berdiri menata piring-piring di lemari. Suara gemeletuk piring dan sendok tidak jauh dari tempat aku berdiri. Aku diam sejenak, membayangkan raut wajah ustadz Ahmad yang sedang menikmati masakan Bu Tum pagi ini. Mungkin akan ada sekilas wajah pahit mengingat sesuatu. Dan aku tahu apa yang sedang beliau pikirkan. Meski aku tidak menghampiri beliau. Aku tahu apa yang beliau pikirkan saat ini, akhir-akhir ini, seperti yang sudah beberapa kali beliau sampaikan kepadaku. Keberatan beliau jika aku jadi keluar dari Pondok ini. PUTM.

Sebelum hatiku menjadi sesak, aku segera meninggalkan tempat sepi itu, menuju dapur. Tapi pikiran itu tidak mungkin aku elakkan begitu saja. Aku juga memikirkan. Bahkan dengan sangat. Saat ini aku tersadar, bahwa aku sedang berada di ambang kebimbangan yang sangat dalam. Aku bimbang di antara dua pilihan; pulang dengan meninggalkan PUTM, atau tetap di PUTM dan melanjutkan S2.
Sebenarnya akhir-akhir ini aku sudah memantapkan diri untuk pulang ke kampung halaman, Gresik. Di sana aku sudah ditunggu oleh sebuah sekolah swasta yang memberikan kesempatakan kepadaku untuk mengajar. Tapi faktor utama yang mendorongku untuk pulang adalah orang tuaku. Bapak dan ibuku yang sudah sepuh ingin aku berada di tengah-tengah mereka setelah aku lulus S1. 

Alhamdulillah, pada tanggal 22 Maret 2014 kemarin aku diwisuda dengan predikat cumlaude dari Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Mereka, Bapak dan ibuku, sangat berharap aku pulang setelah menyelesaikan pengabdian yang hampir genap dua tahun di PUTM ini.
Raut muka tadi malam yang membuat aku bimbang lagi. Mata yang berkaca-kaca, keberatan akan kepulanganku. Beliau, ustadz Ahmad, tidak bisa menutupinya. Meskipun yang menyampaikan keberatan aku keluar dari PUTM bukan hanya ustadz Ahmad, tapi juga beberapa pihak baik dari dalam maupun luar PUTM. Tapi itu semua tak begitu membuatku bimbang. Hanya raut wajah tadi malam dan sampai pagi ini. Wajah yang ketika berpapasan denganku seakan mengatakan “mengapa harus secepat ini? Mengapa harus keluar dari PUTM? Mengapa tidak meneruskan di PUTM saja? Ada banyak hal yang harus kamu selesaikan dulu sebelum kamu pergi.”

Aku ingat ketika ustadz Ahmad baru akan menjadi pamong PUTM Putri. Salah satu BPH PUTM mengatakan, sebisa mungkin jangan membuat ustadz Ahmad ‘berfikir’. Waktu itu ada beberapa masalah yang sedang kami hadapi. Kami berusaha menjaganya, sampai kami tiba di suatu saat dimana beliau sudah selayaknya tahu, sedikit ataupun banyak, tentang lika liku asrama  ini. Dan kali ini, mungkin kepanikan terbesar adalah kali ini. Ketika beliau mendengar bahwa aku akan pergi dari PUTM. Sementara selama ini aku yang banyak menjadi sumber informasi terkait asrama. Aku yang banyak memegang  kendali keasramahan, dapur, dan kethalibahan. Di sini, aku tidak mengesampingkan dua partnerku yang berada di asrama dua dan asrama tiga. Hanya saja memang asrama satu yang penghuninya paling banyak. Hampir 30 thalibat. Sementara asrama dua 10 thalibat dan asrama tiga 6 thalibat. Sungguh mereka juga memegang kendali keasramahan, tapi yang paling banyak ditanya adalah aku. Dan yang secara langsung diberi tanggung jawab asrama 1 dan dapur  umum adalah aku.

Bukannya pengkaderan tidak berjalan. Tapi tahun ini ada program baru untuk alumni PUTM Putri. Mereka tidak langsung pengabdian, tapi masih belajar lagi di UMY dan tinggal di Unires. Itu artinya angkatan setelahku tidak bisa langsung menggantikan aku dan temanku untuk menjadi musyrifah di PUTM. Dan aku harus mencari pengganti dari kalangan alumni angkatanku yang masih tinggal di Jogja.

Kalau aku sendiri, bagaimana?

Jujur, aku ingin pulang. Bukan hanya karena orang tuaku, tapi karena diriku yang sudah ingin merasakan suasana baru. Jujur ada beberapa hal yang membuatku ingin segera pindah ke kampung halaman. Setidaknya untuk setahun atau dua tahun ini. Aku ingin keluar dari Jogja dulu. Tapi aku juga ingin segera S2, meskipun ini bisa aku tunda setahun atau dua tahun lagi. Tapi bukankah lebih baik jika aku langsung melanjutkan S2. Apalagi jika ada tawaran beasiswa. Namun terus terang saja, jika S2 masih harus aku bebankan kepada orang tua, itu sangat tidak mungkin. Sudah aku tidak menuruti kehendak mereka untuk pulang, malah memberi kesusahan yang berlipat-lipat.

Jalan satu-satunya adalah istikharah. Jika kamu punya keadaan yang sama seperti aku, jangan ragu untuk shalat istikharah. Ya, shalat istikharah.

Rabu, 09 April 2014

Di kamar yang sudah dua tahun aku huni dan mungkin akan segera kutinggalkan.