Tulisan ini sebenarnya sudah lama ingin aku
share. Bukan buat siapa-siapa, tapi buat diriku sendiri dan teman-teman yang
ada di asrama tercinta, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Puteri
Yogyakarta. Bersyukur sekali aku jadi satu di antara thalibat yang diberi
kesempatan menimba ilmu di sini. Dulu sempat aku tulis buku berjudul “Cetak
Ulama”. Tapi belum jadi, karena berbagai macam alasan, hehe. Alhamdulillah,
masih ada file-nya. Ternyata file ini terakhir diedit pada tanggal 25 Nopember
2011. Bayangin! Udah dua tahun lebih tulisan itu ditorehkan, tapi tidak ada
yang membaca kecuali aku sendiri. sayang banget kan? So, daripada aku
tunda-tunda lagi. Mumpung masih ada umur. Aku share ke teman-teman ya...
siapapun deh, boleh baca dan komentar.
TERIMA KASIH
Terima kasih untuk bapak dan ibu tercinta yang selalu
menumpahkan cinta dan kasihnya untuk putra-putrinya yang salah satunya adalah
saya. Terima kasih telah memberi saya kesempatan untuk merantau ke Jogja,
mampir sebentar untuk mencari bekal menjalanai kehidupan selanjutnya. Tak
terkira bahagianya ketika kalian mengizinkan ananda untuk sekolah di Pendidikan
Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta. Kalian pun bersusah payah
membanting tulang demi pembelian Notebook yang akhirnya ananda gunakan untuk
mewujudkan azzam untuk menulis buku kecil ini.
Segala kebaikan kalian yang tak mungkin mampu ananda
balas, semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya untuk kalian, wahai pahlawan
nomer satu dalam hidupku..bapak dan ibuku..
Untuk kakak-kakakku, teman-temanku, guru-guru dan
dosen-dosenku yang selalu memberikan supportnya untuk sekolahku dan untuk
semuanya, terima kasih yang sebesar-besarnya.. semoga Allah membalas jasa
kalian.. amin.
Terima kasih pula kepada penulis buku Melawan
Dengan Cinta, Abay Abu Hamzah yang telah memberikan banyak inspirasi dalam
perjalanan penulisan buku ini. Tak lupa pula kepada penulis buku Zero to
Hero, Sholihin Abu Izzudin yang memberikan banyak inspirasi bagi
semangatku.
MUQODDIMAH
Buku ini saya tulis salah satunya karena kebahagiaan
saya mendapat kesempatan menuntut ilmu di sebuah pesantren mahasiswa di Jogja.
Namanya Pondok Nyai Ahmad Dahlan, sebuah pondok sekaligus kampus mahasiswa
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) yang diperuntukkan bagi mahasiswa
putri (istilahnya thalibat). Untuk mahasiswa putri, angkatan saya adalah
angkatan perdana. Karena sebelumnya tidak ada PUTM putri. PUTM putra terpisah
dengan kami sekitar 40km. Sebelumnya, saya bukan mau mempromosikan sekolah saya
lho. Sekadar menjelaskan latar belakang saja.
Hemm..tak terhitung sudah betapa banyak yang saya
dapatkan dari sebuah pondok kecil di kampung yang kecil pula ini. Sahabat,
saudara, ustadz-ustadzah yang teladan, pengalaman, dan sebagainya. Tentunya
saya sangat bahagia. Saya yakin temna-teman yang berkesempatan tinggal di
pesantren, dimanapun berada pasti merasakan hal yang sama. Betapa kita mendapat
ilmu-ilmu berharga disana.
Namun terkadang saya merasa berat mengemban ilmu di
PUTM ini. Kenapa? Karena saya sadar, setelah lulus dari pendidikan ini akan ada
tugas dan tanggung jawab yang tak ringan. Menjadi ulama! bayangin, itu bukan
peran yang ringan. Dan memangnya ada ulama karbitan, hanya tiga sampai empat
tahun sudah menjadi ulama?
Itu adalah rasa yang terkadang muncul dan saya anggap
wajar. Namun lebih seringnya saya merasa optimis bahwa saya dan teman-teman
yang lainnya pasti bisa menyelesaikan pendidikan di PUTM dengan sebaik-baiknya
dan bisa mengemban tugas yang dibebankan kepada kami setelah lulus dari PUTM
juga dengan baik.
Kami yakin karena kami setiap hari, setiap waktu,
setiap kuliah, mendapat motivasi dari ustadz-ustadzah (dosen). Teman-teman PUTM
pun saling menyemangati, bahwa kita pasti bisa menjadi ulama. karena kita udah
terlanjur masuk di percetakan ulama, pilihan terbaik adalah mewujudkan ulama
itu sendiri pada diri kita. Dengan giat belajar, bersungguh-sungguh, sabar, dan
ramuan lainnya untuk menjadi ulama, kita pasti bisa. Dan tentu saja keluarga
yang sedang menunggu kelulusan kami di rumah juga turut memberi semangat.
Kurang apakah?
Setiap hari kami disuguhkan permasalahan umat yang
menjadi PR bersama untuk dikerjakan, terutama yang menjadi PR ulama. maka kami
pun menjadi faham mengapa kami harus tinggal dan menuntut ilmu di Pendidikan
Ulama ini. Dan saya sendiri, merasa mendapat banyak ilmu dan pengalaman
berharga selama tinggal di PUTM ini. Saya tidak ingin ilmu saya sia-sia begitu
saja. So, izinkan saya berbincang-bincang dalam buku ini, sekadar berbagi
pengalaman meskipun tidak banyak. Hanya yang saya tahu dan rasakan.
Dalam buku ini nanti kita akan banyak membahas hal-hal
yang berkaitan dengan percetakan ulama yang didesain untuk kalangan mahasiswa.
Ya, karena saya sendiri tidak pernah mengalami hidup di pesantren selain pada
saat saya menjadi mahasiswa. Namun saya optimis buku ini juga bisa memberikan
inspirasi bagi yang nyantri sebelum menjadi mahasiswa juga. Mudah-mudahan Allah
memberinya kemanfaatan. Amin.
CITA-CITA YANG TERTUNDA
Saya ingat, beberapa tahun silam, ketika saya masih
duduk di bangku SMP, saya punya cita-cita untuk bisa sekolah sekaligus nyantri
(tinggal di pesantren). Belum jelas motif sesungguhnya apa. Hanya saja yang
saya ingat, saya ingin hidup di lingkungan yang baik (bukan berarti lingkungan
dengan didikan orang tua kurang baik, tapi lingkungan pesantren menurut saya
lebih baik). Saat itu saya mengutarakan cita-cita untuk disekolahkan di
pesantren kepada bapak. Dan kami menyebutnya pondok, bukan pesantren, namun
beliau dengan nada bercanda mengatakan, “rumah itu kan pondok, jadi tinggal di
rumah juga sama dengan tinggal di pondok.” (tentu saja dengan bahasa Jawa). Aku
lantas berbahak meski ada kecewa menyeruak di dada. Aku tahu maksud bapak.
Beliau tidak punya dana cukup untuk menyekolahkanku di pondok. Sudah cukuplah
aku sekolah di SMP swasta dengan prestasi dan beasiswaku.
Hingga lulus SMA, cita-cita itu masih ada. entah
kenapa saya merasa harus tinggal di pondok, meski hanya dua atau tiga tahun.
Bukan supaya bisa menjadi ustadzah atau Bu Nyai, hanya keinginan kecil itu;
ingin merasakan kehidupan bersama orang-orang baik. Pikir saya, tinggal bersama
dengan orang-orang baik akan membuat saya menjadi orang baik juga. Dan saya
yakin itu akan terwujud. Sampai suatu ketika saya mendapat tawaran beasiswa di
Jogja ini dari seorang ustadz alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang
waktu itu mengisi sebuah acara yang saya selenggarakan bersama teman-teman IPM.
Rasanya seperti punguk merindukan bulan, dan bulan pun tiba di hadapan. Namun
satu kendalanya, pendaftar dipersyaratkan adalah alumni pondok pesantren.
Gedubrak..! sama saja dong. saya mau sekolah di pesantren karena saya belum
pernah sekolah di pesantren, malah syaratnya harus udah tinggal di pesantren.
Namun ustadz yang memberikan informasi beasiswa
meyakinkan bahwa saya pasti bisa masuk pendidikan yang bernama Pendidikan Ulama
Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta itu. Asalkan saya bisa melewati dua
tahapan tes yang dipersyaratkan; di Surabaya dan Jogja sendiri. Saya pun
langsung yakin bahwa saya bisa. Dan saya pikir, hanya keyakinan dan kemauan
saya lah yang bisa membuat saya lulus tes selain doa dan dukungan dari orang
tua, kakak-kakak, dan sahabat-sahabat tercinta. Dan benarlah, mimpi itu
terwujud. Saya lulus tes dua tahapan itu sehingga bisa mengikuti pendidikan di
PUTM dan tinggalnya di Pondok Nyai Ahmad Dahlan, Bantul. Itulah mimpi kecil
yang tertunda. Bagi saya tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu.
By: Ain Nurwindasari
PUTM Puteri, 2011
Saat penulis masih menjadi thalibat PUTM
semester 5