Kali ini aku ingin bercerita tentang senja. Waktu di mana aku berada di atas motorku, menyusuri liku demi liku jalan dari kantor menuju rumahku. Memandangi hiruk pikuk manusia yang membawa beban-beban penuh lelah. Mengikuti arus jalan seperti serangan peluru yang meluncur tanpa kendali. Bergerak bebas dengan berbagai gaya motor masa kini.

Senja bagiku adalah waktu yang mampu mengajarkanku sebuah kearifan dalam kesendirian. Di tengah hiruk pikuk kendaraan bermotor, aku menikmati senja yang memanggil-manggil membisiki makna kehidupan yang baru saja aku habiskan seharian. Senja seakan mengatakan “Berhentilah marah, berhentilah mengeluh atas beratnya pekerjaanmu. Mulailah mengukir senyum karena saat ini kau sudah berada di dalam damainya senja.”

Senja mengingatkanku pada ibu, bapak, dan kakak-kakakku. Terutama ibu, orang yang paling berjasa dalam hidupku. Bukan hanya ketika aku lahir, kecil dan tidak berdaya. Saat aku sudah dewasa seperti ini pun, ibuku masih saja menjadi malaikat dalam kehidupan sehari-hariku. Senja begitu arif mengajariku bahwa kenapa aku bisa mengajar dengan baik, menyelesaikan tugas-tugasku yang menumpuk, itu semua tidak terlepas dari campur tangan ibu. Ibu yang sabar dan telaten menyiapkan sarapanku, menyuruhku segera bersiap-siap, meminta bapak untuk menyalakan dan mengeluarkan motor, bahkan membereskan pekerjaan yang aku sering tinggalkan di rumah. Ibu, orang yang meski sudah lelah bukan hanya karena usianya tapi juga karena pekerjaan yang masih ditekuninya. Kalau sudah ingat seperti itu rasanya aku ingin cepat sampai rumah dan memeluk ibu. Dan rasa itu aku rasakan saat senja. Saat jingga mulai menyelimuti langit.

Ketika aku melihat seorang tukang penyeberang jalan di pertigaan jalan, senja mengajariku tentang profesionalitas kerja. Betapa dalam waktu seharian yang telah aku lewati seharusnya aku lakukan dengan lebih profesional lagi. Bukankah tidak ada jaminan bagi orang yang sedang membantu orang-orang melintas di pertigaan itu, kalau bukan karena keyakinan bahwa Allah yang mengatur segala rejeki, pastilah sudah tidak mau orang ini bekerja dengan baik.

Senja mengajariku tentang arti persahabatan. Persahabatan yang tanpa direncanakan sebelumnya. Di tempat kerjaku aku temukan sahabat-sahabat yang baik, terutama yang aku panggil bestie. Bestie, maksudnya adalah teman terbaik. Aku punya dua bestie. Tapi, bestie terbaik pasti hanya satu, yaitu bu dini. Dia yang menumpahkan banyak kisah hidupnya begitu pula aku menumpahkan kisah hidupku kepadanya. Dan hanya di saat senja lah, kami bisa duduk-duduk berdua di sebuah tempat makan, ngobrol banyak hal yang tak terrencana sebelumnya. Dua mangkok bakso, dua gelas es jeruk maupun jeruk hangat. Mereka lah teman senja kami di saat kami menumpahkan segala keluh kesah dan semangat yang membuncah tentang cita-cita kami berdua.
Yang paling menarik dari senja adalah fenomena berakhirnya hari yang terang menjadi hari yang gelap. Membuatku tersadar, bahwa yang tampak di depan mata ada waktunya untuk berakhir. Siang akan segera berganti senja kemudian malam. Masa muda akan segera berganti dengan masa senja dan meninggal. Namun tidak semua orang bisa menikmati senja. Sama halnya tidak semua orang menikmati masa tuanya. Mungkin memang mati muda atau masa tuanya justru penuh derita. Di sini senja mengajarkanku arti muhasabah usia. Senja mengajakku berkaca. Akankah senjaku akan seindah senja yang tampak ini?

Senja mengantarkanku lebih arif ketika aku sampai rumah. Meski aku lelah, penuh peluh bekas debu-debu jalanan, tapi senja mengajariku kebahagiaan tersendiri. Mengajariku mensyukuri banyak hal yang aku lewati dalam satu hari. Terima kasih, Allah, masih memberiku kesempatan menikmati senja.
"dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal." (Q.S. Al-Jatsiyah (45) : 5)

Senja hari,

Senin, 16 Maret 2015

Di kantor biasa

Ain Nurwindasari

2 Komentar

Posting Komentar