Kakek tua itu dulunya adalah seorang pemuda yang dihormati di kampungnya. Ia memimpin diba’an, sholawatan, dan berbagai ritual ibadah lainnya di kampung halamanya sebelum ia menikah. Tapi semenjak ia menikah dengan perempuan pujaan hatinya, ia mulai mengubah haluan praktik-praktik ibadahnya menjadi tidak seperti dulu lagi. Bukan karena apa-apa, tidak ada yang memaksa, tapi atas kesadaran ilmunya yang terus berkembang. Ia pun hijrah ratusan kilometer dari tempat kelahirannya, demi mendampingi istrinya yang harus merawat nenek dan kakeknya yang sudah renta. Dan pada akhirnya ia dan istrinya mendapat hibah rumah dan beberapa petak sawah peninggalan nenek dan kakek yang dirawatnya.

Di sebuah sawah tempat ia bekerja pada seorang pemilik ladang terluas di kampung istrinya, ia berdiskusi tentang bagaimana praktik sholat menurut ajaran Rasulullah SAW. Sang pemilik sawah yang juga seorang ustad pun menjelaskan demikian dan demikian sebagaimana hadis Rasulullah SAW. Kakek tua yang dulu masih muda itu pun terus bertanya tentang budaya keagamaan yang berkembang di masyarakat yang demikian dan demikian, sang ustad pun menjawab bahwa ada praktik ibadah yang dikira itu ibadah padahal hanya peninggalan budaya hindu-budha, namun masyarakat masih sulit menghilangkannya dikarenakan budaya itu sudah melekat pada dirinya dan keluarganya.

Suatu hari, ketika kakek tua ini telah benar-benar menjadi seorang kakek, usianya telah senja mestilah anaknya sudah pada dewasa. Ia dibelikan oleh anaknya buku-buku tanya jawab agama terbitan suara Muhammadiyah. Jangan berfikir beliau adalah pimpinan Muhammadiyah, bahkan NBM saja beliau tidak punya. Tapi beliau ini gigih sekali. Hampir setiap pagi dan sore sebelum dan sesudah mengunjungi ladangnya, beliau sempatkan membaca buku tanya jawab agama. Alhasil, beliau merasa harus menyampaikan apa yang beliau baca dari buku tanya jawab tersebut.

“Pak ustadz, mohon maaf, saya hanya bertanya. Kenapa jamaah di tempat lain ketika shalat jenazah mengangkat tangan ketika takbir setelah takbir pertama sedangkan jamaah kita tidak pakai takbir?”, tanya sang kakek tua. Sang ustad pun menjawab “karena dari dulu praktik shalat jenazah ya begini, pak.”. sang kakek tua lalu berusaha menjelaskan, “Tapi saya membaca di buku tanya jawab agama, ada pakai mengangkat tangan ketika shalat jenazah,”. Sang ustad pun menjawab “Kalau begitu saya akan baca buku tersebut. terima kasih masukannya pak.” Sambil tersenyum lalu mereka pun berpisah.

Sang kakek tua ini semakin hari semakin kritis dengan membaca buku-buku dan majalah yang dibelikan oleh anaknya. Beliau semakin gemar membaca, dibantu dengan kaca matanya. Beliau menyampaikan kepada anaknya “Kita ini sebagai umat Islam, jangan suka ikut-ikutan dalam praktik ibadah. Kita harus berusaha mencari tahu bagaimana sebenarnya Rasulullah melakukan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.” Sang anak pun mengiyakan.

Namun tidak semua orang bisa menerima kritik dan saran dari kakek tua ini. Merasa pendidikannya lebih tinggi sedangkan si kakek tua ini ijazah SD pun tidak punya, mana mungkin kebenaran bisa mampir di kepalanya, pikir orang yang pendidikannya lebih tinggi tersebut. ketika si kakek tua memberi saran, dia pun menjawab “Ini yang benar menurut yang saya pelajari, anda mengaji di mana bisa ngomong seperti itu.”, atau ada lagi yang berkomentar “baru tau satu hadis saja sudah sok pintar.”

Beruntungnya si kakek tua ini tidak pernah patah semangat. Ia terus mencari dan mencari kebenaran lewat membaca dan mendengarkan pengajian. Ia juga menyimak dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan orang lain dalam forum kajian. Sayangnya sang kakek tua tidak pandai berbicara di depan umum. Ia hanya menyimak, dan menyampaikan kepada yang bersangkutan apabila ia tau ada yang tidak sesuai dengan yang diajarkan Muhammadiyah.

Ada kalanya sang kakek tua ini dijadikan sebagai imam shalat fardhu, bahkan shalat tarawih. Kalau adzan memang sejak muda beliau ini gemar adzan. Sampai tua pun masih sering adzan. Pada tahun ini sang kakek tua namanya sudah tidak tercantum lagi di daftar imam shalat tarawih. Ada yang protes kenapa nama kakek ini tidak dimasukkan sedangkan imam-imam lain yang bacaannya masih jauh lebih baik kakek tua ini daripada mereka kok namanya tercantum. Kakek tua ini hanya tersenyum. kakek tua sama sekali tidak menginginkan jabatan, pengakuan dari orang lain.

Kakek tua ini terus melihat masyarakat yang semakin berkembang. Dan tidak pernah ia berhenti mengkritisi dan memberi saran tanpa ada rasa putus asa meski diremehkan. Ia tetap merasa wajib menyampaikan, tanpa ada rasa memaksa orang lain harus mengikuti sarannya, tanpa emosi membara ketika orang lain berpendapat berbeda. Hanya senyumnya yang tetap terbaca dari sudut-sudut lesung pilinya yang sudah keriput.

Gresik, 25 Juni 2015

Di ruang tamu, ketika libur awal ramadhan.

Post a Comment