Aku pernah melihat sebuah video tentang bagaimana meraih mimpi. Ketika melihat video itu aku mulai menuliskan mimpiku satu persatu. Dan apa yang aku jalani saat ini adalah seperti mimpi. Ya, seperti mimpi aku bisa melanjutkan kuliah di sini. Tempat yang dulu aku sebut sebagai The dream university. Ya, International Islamic University Malaysia (IIUM). Dan inilah salah satu mimpiku: melanjutkan kuliah di luar negri.
Sebelum kalian mengatakan “Malaysia kan dekat. Itu mah gampang.” Dengarkan dulu ceritaku. Ini ceritaku.
Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Bapakku seorang yatim piatu, ibuku seorang yatim namun sedari kecil tidak pernah dirawat oleh ibu kandungnya. Ibuku dirawat oleh neneknya. Jadi ibuku hampir sama dengan bapak, yatim piatu. Hanya saja nenekku masih hidup.
Bapak dan ibuku mengajarkan kami hidup dengan kerja keras. Berpuluh-puluh tahun hidup kami bergulat dengan sawah dan tenun. Sampai orang-orang mengatakan “Kalau bapak dan ibunya tani, anaknya nggak akan jauh-jauh dari sawah.” Perkataan ini terdengar memilukan, tapi justru membuat semangat bapak dan ibuku lebih besar untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua dari kami yang kuliah. Hanya aku yang kuliah.
Suatu ketika pada tahun 2008 aku mengikuti sebuah acara di organisasi pelajar bernama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Aku sudah lulus SMA tapi belum kuliah. Pernah aku kuliah tapi hanya sekitar dua bulan. Itupun bukan di universitas terkenal di daerahku. Bahkan hanya sebuah lembaga pendidikan yang menyediakan D1. Tak apalah dengan sisa uang beasiswa sewaktu SMA, aku mengambil kuliah tersebut. sayangnya hanya sekitar dua bulan lalu aku berhenti. Dan lembaga itu pun tutup. Ya, kami hanya kelinci percobaan. Dalam acara IPM itu aku ditanya tentang identitasku oleh seorang pema “Ain sekolah atau kuliah?”, aku jawab “nggak sekolah, nggak kuliah juga.” Pemateri pun menjawab “Lha terus?”. “Lagi cari beasiswa”, kataku.
Sejak itulah mulai ada jalan untuk menempuh kuliah. Jujur saja orang tuaku tidak sanggup jika harus membiayai penuh kuliahku. Jadi aku harus kerja dulu sebelum bisa kuliah. Sambil bekerja aku mencari peluang beasiswa. Alhamdulillah dari acara IPM ini lah aku ditawari beasiswa kader Muhammadiyah untuk bisa menempuh S1 sekaligus nyantri di Jogja. Aku pun berjuang dengan sekuat tenaga, dengan segala upaya untuk bisa lolos seleksi ke sebuah lembaga pendidikan bernama Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM). berat juga terasa pundak tidak lain karena nama lembaga ini yang begitu tinggi di mata orang. Tapi meski berat aku punya semangat yang lumayan bisa diandalkan untuk bisa melawan segala rintangan yang menghadang, termasuk larangan kuliah ke luar kota oleh orang tua beserta nenek dan saudara-saudaraku. Mereka bilang aku anak terakhir, perempuan pula, tidak baik pergi jauh hanya untuk sekolah, patutnya sekolah di dekat rumah saja, atau menikah saja. Oh tidaaak...!!
Dengan izin Allah aku lolos seleksi ke PUTM. dan aku lulus sebagai wisudawan terbaik. Setelah itu aku melanjutkan pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta sebagai mahasiswa semester 7. Ketika kuliah di UAD aku sedang menjalankan pengabdian sebagai musyrifah (pembimbing) di PUTM, saat itu pula aku dan kawan-kawan mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para da’iyah di Jogja. Meski anggotanya baru kami para alumni PUTM Putri.
Setelah lulus dari UAD aku diminta mengajar di SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik. Sebuah sekolah cukup bergengsi di daerah Gresik. Namun semenjak aku menerima tawaran mengajar di sekolah tersebut aku sudah berjanji akan meneruskan kuliah S2. Mungkin aku hanya akan mengajar selama satu tahun karena aku masih berkeinginan melanjutkan studi S2.
Aku sangat menginginkan kuliah di luar negri terutama di IIUM. Entah bagaimana caranya aku bisa ke IIUM, yang pasti aku selalu berusaha dan berdoa agar bisa kuliah di kampus biru ini. Namun sebelumnya aku sempat ingin kuliah di Mekkah, yakni di Ummul Qura University (UQU). Tentu harapannya adalah bisa kuliah sekaligus menunaikan ibadah haji. Di UQU mahasiswa harus memulai S1 lagi. Tidak masalah bagiku. Aku berusaha memenuhi persyarakat untuk bisa masuk UQU, yakni membuat paspor dan menerjemahkan ijazah SMA ku ke dalam bahasa Arab, tapi ternyata ada satu kendala yang tidak bisa aku lewati; memiliki mahram yang sudah menjadi penduduk ataupun mahasiswa UQU. Ketika ngobrol dengan mahasiswa UQU asal Indonesia, dia mengatakan “Mungkin bukan di sini tempat mbak Ain. Mungkin Allah sudah menyiapkan yang lebih baik.” aku pegang kata-kata itu dan aku ucapkan “Amiin.” Ini terjadi di sekitar bulan September 2014.
Satu bulan kemudian ada tawaran program Mahathir Global Peace School (MGPS) yang diselenggarakan pada Desember 2014 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). MGPS merupakan sekolah singkat yang di dalamnya mendiskusikan tentang perdamaian dunia. Awalnya aku ragu untuk mengikuti acara ini. Pasalnya ini merupakan acara internasional, pastinya bahasa pengantarnya juga internasional dan aku harus membuat motivation letter yang bisa meyakinkan pihak panitia bahwa aku layak mengikuti acara tersebut. akhirnya dengan upaya semampuku aku berhasil/lolos seleksi dan menjadi salah satu peserta program MGPS. Betapa ini anugerah Allah yang pastilah ada maksud dan tujuannya. Aku berniat menjadikan momen MGPS tidak hanya menambah wawasan dan pengalamanku tapi juga membuka peluang agar aku bisa kuliah ke luar negri. Dan benar saja, meski aku belum sepenuhnya mendapat informasi tentang beasiswa master di luar negri, setidaknya teman-teman dari berbagai manca negara membuatku lebih bersemangat untuk bisa kuliah di luar negri.
Sebulan kemudian setelah acara MGPS aku mendapat informasi dari kawan yang berasal dari Kenya (peserta MGPS) bahwa ada beasiswa s2 di Qatar University (QU). Aku pun langsung mengerjar informasi tersebut, namun sayang sekali lagi-lagi aku tidak memenuhi persyaratan karena nilai toeflku masih di bawah 500. Dan aku tidak bisa bertanya banyak kepada siapa pun karena tidak seorang pun yang kuliah di QU yang aku kenal. Akhirnya aku harus meredam keinginanku untuk kuliah di luar negri. Untuk sementara aku ingin tenang. Tapi tetap saja, bayang-bayang ingin kuliah di luar negri tetap saja mengikuti kemana pun aku pergi. Ya, aku masih ingin kuliah ke luar negri. Dan akhirnya aku memilih untuk berjuang melalui LPDP.
Langkah pertama yang aku lakukan adalah mendapatkan nilai TOEFL ataupun TOAFL minimal 550. Dan ketika kemampuanku untuk mengejar TOEFL masih sangat jauh, aku mengambil langkah untuk ikut TOAFL. Alhamdulillah, nilaiku belum memenuhi 550. Aku bisa saja beralasan bahwa sarana untuk belajar TOAFL masih sangat terbatas. Tapi semuanya kembali pada sang pemegan takdir, mungkin ini belum jalanku. Nilai TOAFL yang berhasil aku capai adalah 518, sedangkan untuk TOAFL yang kedua kalinya aku mendapat nilai 500. Aku tidak patah semangat. Nilai ini masih bisa digunakan untuk mendaftar di LPDP untuk tujuan dalam negri. Setelah itu aku berusaha minta surat rekomendasi dari Prof. Dr. Syamsul Anwar, guru besar di UIN Sunan Kalijaga. Alhamdulillah semua sudah terpenuhi. Hanya saja sampai saat ini dokumen-dokumen tersebut hanya aku upload, tapi tidak aku submit.
April 2015
Sebuah pengumuman yang tidak aku duga sebelumnya
“Pada tahun 2015 ini, kami akan memberikan tugas belajar kepada nama-nama tersebut di bawah ini... Ain Nurwindasari...”
Aku terkejut. Bagaimana mungkin aku yang sebagai orang baru mendapat tugas belajar yang itu seharusnya untuk guru-guru yang sudah lama mengajar. Lagi pula aku tidak mau terikat di satu lembaga ini karena aku tidak bisa menjamin akan bisa mengabdi di sekolah ini setelah menikah nanti. Di situlah kegalauan terjadi. Antara mengambil beasiswa (tugas belajar) itu atau tidak. Setelah aku diskusikan dengan orang tua, mereka menyetujui bahkan ketika aku harus kuliah di luar negri.
Mei 2015
Serombongan keluarga mendatangi rumahku. Mereka berasal dari tempat yang jauh. Belasan jam mereka tempuh untuk bisa ke rumahku. Mereka punya satu tujuan; melamarku. Sebelum mereka datang aku sudah jelaskan kondisku bahwa aku sedang dalam mengemban amanah akan menunaikan tugas belajar, insyaallah ke luar negri. Dan mereka sudah paham.
Khitbah (lamaran) ini membuatku mempertimbangkan lagi tugas belajarku. Mungkinkah aku akan bisa mengabdi di tempat kerjaku sedangkan nanti setelah menikah aku punya kewajiban untuk mengabdi pada suamiku? Dari pemikiran ini aku berdiskusi dengan para pemegang wewenang terkait pemberian tugas belajar. Alhasil mereka sangat memahami dan tetap memberikan tugas belajar denganku tanpa mengikatku harus mengabdi di tempat kerja tersebut setelah lulus nantinya. Oh Allah, nikmat mana lagi yang aku dustakan?
Dengan segala motivasi dari orang-orang terdekatku aku mendaftarkan diri di IIUM. Pada pertengahan Juni aku berhasil submit seluruh dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Aku menunggu sampai pertengahan Agustus. Alhamdulillah, aku mendapat kiriman offer letter sehari setelah Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-70 tahun. Dan aku saat ini telah menginjakkan kaki di kampus biru ini. Kamu tahu? Ini benar-benar seperti mimpi.
Saat ini pula aku sedang dikejar deadline untuk mengerjakan tantangan dari WOW. Rupa-rupanya Said memang berniat sekali memotivasiku untuk menjadi penulis. Meski sebenarnya aku ini tidak layak menjadi peserta WOW yang menyatakan kesanggupan mengikuti challenge ini. Tapi Alhamdulillah masih ada kesempatan. Dan ini harus diraih dan tak boleh disia-siakan. Terima kasih Kawan-kawan panitia WOW..!
Pesanku; Reach Your Dream, as far as you can !

Gombak, 31 Agustus 2015

8 Komentar

  1. Penulis cerdas dengan Pemaparan yg lugas dan bernas.... (Good Luck)

    BalasHapus
  2. Kalau bisa jadi penulis buku sekalian ustadzah..

    BalasHapus
  3. Kalau bisa jadi penulis buku sekalian ustadzah..

    BalasHapus
  4. Kalau bisa jadi penulis buku sekalian ustadzah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. insyaallah. sedang proses penulisan naskah. mohon doanya tahun ini bisa terbit. :)
      terima kasih sdh menyempatkan membaca :)

      Hapus

Posting Komentar