Masih di suasana kelas kami di ruangan Al-Juwaini di gedung IRK lantai 3 di jam yang sama, kali ini kami membahas tentang “Alhamdulillah”. Saat itu kami sudah berpindah membahas tafsir ilmi, tafsinya syeikh Thonthowi Jauhari. Perlu diketahui ustadz kami, Ustadz Radwan Jamal adalah orang yang sangat sering menyapa muridnya dan menanyakan kabar, sekalipun kami sedang di pertengahan kelas. Di awal pertemuan pasti beliau Tanya kabar, paling tidak secara umum “Kayfa haalukum?”. Bahkan kadang beliau Tanya satu persatu tentang kabar kami. dan tentu saja dengan raut wajah beliau yang penuh semangat dan senyum mengembang. Subhanallah…

Ketika beliau tiba-tiba Tanya di pertengahan kelas, “kayfal hal, yaa ‘Ain?”, saya jawab “Alhamdulillah… tamaam…”. Lalu beliau menjelaskan bahwa apapun keadaan kita, ketika ditanya jawablah “Alhamdulillah”.
Masih kata beliau, bahwa dulu orang-orang Arab suka memuji sayidnya, para pembesar, orang tua, guru dan orang-orang yang mereka hormati dengan mengatakan “Alhamdu li fulan”. Setelah datangnya Islam, kalimat tahmid “alhamdu” hanya khusus untuk Allah. Jadi hanya ada “Alhamdulillah”. Kenapa kita dianjurkan untuk selalu mengatakan Alhamdulillah? Jawabannya tentu saja karena semua nikmat yang kita rasakan dan semua yang ada adalah karunia Allah, semua atas kekuasaan Allah hingga bisa tercipta dan ada.
Coba bayangkan, ketika kita makan saja. Satu hal ini saja. Kita makan dengan apa? Kita makan dengan tangan, Alhamdulillah kita tidak seperti hewan yang makan langsung dengan menggunakan mulutnya. Alhamdulillah kita diberi tangan yang persendiannya berfungsi dengan baik, tidak kaku. Alhamdulillah di setiap jari ada sendi-sendi yang membuatnya fleksibel untuk kita bisa mengambil makanan. Alhamdulillah kita punya mata yang bisa melihat makanan agar kita bisa memilih makanan yang baik. Alhamdulillah kita bisa menelan. Alhamdulillah dalam mulut kita ada gigi untuk mengunyah. Alhamdulillah ada enzim untuk membantu pencernaan. Alhamdulillah ada usus dan lambung untuk menampung makanan. Alhamdulillah semua sari-sari makanan itu didistribusikan ke bagian-bagian tubuh sebagaimana mestinya. Dan Alhamdulillah, sampah-sampahnya dikeluarkan, tidak menetap dalam tubuh. Maa Syaa Allah.. dalam makan saja begitu banyak nikmat yang kita rasakan. Mengapakah kita tidak bersyukur??
Maka ketika ada makanan, usahakan jangan mengeluh. Just eat and say Alhamdulillah. Ya Allah… Tabarakallah… belum lagi kita punya mata, ada alisnya ada kelopak matanya, dan lain sebagainya. Ada sebuah kisah bahwa ada seorang hamba Allah yang diberi usia 500 tahun. Selama 500 tahun itu dia idak pernah melakukan dosa. Dia selalu beribadah kepada Allah. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk memberitahukan bahwa hamba ini akan dimasukkan oleh Allah ke surga dengan rahmat-Nya. Lalu hamba ini bertanya “kenapa dengan rahmat-Mu Ya Allah? Padahal saya sudah beribadah selama 500 tahun”, lalu Allah mengatakan kepada malaikat, “baiklah, silakan ditimbang amalannya selama 500 tahun dengan nikmat melihat yang ia rasakan selama 500 tahun”, dan ternyata hasilnya maasih lebih berat nikmat melihat (adanya mata) daripada amalan yang sudah dikerjakan 500 tahun.
Laa ilaaha illa Allah… itu baru mata. Itu belum nikmat yang lain. Nikmat tangan, kaki, otak, panca indera, dan semua yang kita rasakan saat ini. Dan padahal itu nikmat mat ajika ditimbang dengan ibadah 500 tahun dan tanpa maksiat. Sedangkan kita? Nikmat yang sudah kita terima begitu besar dosanya juga banyak. Apa kata Allah tentang kita?
So, bersyukur… bersyukur…. Bersyukur….
Semoga Allah mengampuni kita semua.

Wallahu a’lam

Post a Comment