A. PENDAHULUAN
Kajian terhadap al-Qur’an dan
hadis memang menarik bukan saja bagi sarjana-sarjana Muslim sejak masa awal
Islam, tetapi juga bagi kalangan orientalis. Kata orientalis di sini dipakai
sejalan dengan definisi Robert D. Lee
dalam bukunya Overcoming Tradition and Modernity yang merujuk arti semua
sarjana non-muslim, baik Barat maupun Timur yang mempelajari dan meneliti
persoalan ketimur-tengahan secara khusus atau keislaman secara umum (Lee, 1997:
12).
Berbagai kegiatan yang
dilakukan orientalis pun cukup beragam, baik yang bersifat subjektif maupun
objektif. Kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dilandasi oleh motif
yang beragam pula, di antaranya motif keagamaan, imperialisme, kolonialisme,
bisnis, politis, sampai dengan motif ilmiah. Salah satu motif yang paling besar
pengaruhnya dalam kajian yang dilakukan oleh para orientalis terhadap Islam
adalah motif keagamaan. Terutama yang berhubungan dengan otentisitas al-Qur’an.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar
di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya
sekarang untuk melakukan studik kritis terhadap teks al-Qur’an sebagaimana
telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan
kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”[1]
Dari hasil kajian para
orientalis terhadap Islam, terutama terhadap al-Qur’an dan hadis, muncullah
beberapa karya besar bahkan menjadi rujukan baik bagi sarjana muslim maupun non
muslim untuk mengkaji Islam. Namun tidak
sedikit di antara karya para orientalis yang tidak jujur maupun tidak objektif
dalam memberikan informasi mengenai Islam. Hal ini tidak lepas dari asumsi
dasar yang dibangun oleh para orientalis itu sendiri bahwa al-Qur’an bukanlah
kitab suci yang otentik. Bahkan Nabi Muhammad dianggap sebagai pengarang
al-Qur’an.
Pemikiran para orientalis
yang tertuang dalam karya-karya mereka juga tidak luput mempengaruhi ide dan
pemikiran para sarjana Muslim seperti Muhammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid,
yang pada akhirnya kedua sarjana muslim tersebut ikut-ikutan tidak mempercayai
otentisitas al-Qur’an. Tidak sedikit tuduhan liberal ditujukan kepada kedua
tokoh tersebut.
Sebagai umat Islam, tentu
kita tidak lupa dengan peringatan Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 6: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Artinya, dalam mengkaji agama Islam,
umat Islam tidak boleh sembarangan mengambil informasi dari sumber yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Contohnya dalam mengkaji kesejarahan al-Qur’an,
umat Islam tidak bisa semata-mata mempercayai informasi yang disampaikan oleh
para orientalis yang mempunyai asumsi dasar bahwa al-Qur’an itu tidak otentik.
Hal ini akan membuat umat Islam ragu terhadap kitab suci mereka sendiri.
Satu-satunya
jalan untuk mengkounter kebatilan adalah dengan kebenaran yang merupakan tugas
ilmuwan muslim. Sangat penting dilakukan kajian yang mendalam mengenai Islam
dari sudut pandang ulama Islam guna membuktikan dan menunjukkan kebatilan dan
kekeliruan ilmiah para orientalis. Artinya, untuk menghancurkan kebatilan
pemikiran harus dengan pemikiran yang lurus berdasarkan logika dan persuasi
rasio. Untuk
itu, makalah ini berusaha memberikan kontribusi mengenai kajian al-Qur’an yang
dilakukan oleh para orientalis khususnya dalam bidang tafsir. Dengan demikian
akan diketahui letak kelemahan hasil tafsir kajian orientalis.
B. PEMBAHASAN
Salah satu program orientalis untuk melemahkan Islam adalah dengan
melakukan pengkajian dalam bidang tafsir. Dua isu besar yang sering
didengungkan oleh para orientalis dalam mengkaji al-Qur’an adalah pertama,
mengenai gugatan para orientalis terhadap otentisitas al-Qur’an; kedua, tentang
pengaruh Yahudi, Kristen dan Zoroaster terhadap Islam. Berangkat dari masalah
ini maka orientalis menggunakan metode kritik Bibel (Biblical Criticism) untuk
mengkaji al-Qur’an. Metode ini sebelumnya mereka gunakan untuk mengkaji kitab
suci mereka yang bermasalah dan mereka anggap tidak otentik. Sementara
al-Qur’an tidak memiliki problem dalam sejarahnya. Artinya, umat Islam sejak dulu
hingga saat ini meyakini kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi.
Untuk mengetahui kelemahan hasil tafsiran orientalis, perlu dikaji
mengenai metode yang digunakan oleh para orientalis dalam menafsirkan
al-Qur’an. Metode tafsir yang dilakukan oleh para orientalis sangat berbeda
dengan metode tafsir yang dilakukan oleh para ulama muslim. Hermeneutik adalah
salah satu metode yang digunakan oleh para orientalis dalam mengkaji teks
al-Qur’an, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap teks Bibel.
Untuk membandingkan antara metode tafsir para ulama Islam dengan
para Orientalis Dalam Lisānul ‘Arab dinyatakan: Kata “al-fasr”
berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsīr”
berarti menyingkapkan maksud suatu lafal yang muskil,[2]
sedangkan menurut Abu Hayyan, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara
pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah
hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan kondisi
struktur lafal yang melengkapinya.”
Menurut Az-Zarkasyi, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Manna’ al-Qaṭṭān,
tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad,
menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.”[3]
As-Suyūthi, sebagaimana dikutip oleh Al-Qaṭṭān, mengatakan bahwa kebutuhan
terhadap al-Qur’an sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan
duniawi haruslah sejalan dengan syariat sedang kesejalanan ini sangat
bergantung pada pengetahuan tentang Kitab Allah.[4]
Kasus Luxemberg dan Bukunya
Christoph Luxemberg mengklaim bahwa al-Qur’an hanya dapat
dimenegrti apabila dibaca mengikut konon bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic
(bahasa Aramaic dalam dialek Syriak). Luxemberg adalah warga negara Jerman asal
Libanon, penganut Kristen, memperoleh M.A. dan Dr. Phil dalam bidang Arabistik.
Pada 28 Mei 2003 yang lalu ia sempat diundang memberikan ceramah di Universitat
des Saarlandes mengenai “Pengaruh Bahasa Aramaik terhadap bahasa al-Qur’an” (Der
Einfluss des Aramaischen auf die Sprache des Korans). Di samping bertugas
sebagai dosen, ia juga aktif menulis dan memberikan wawancara untuk media masa.
Dalam bukunya itu yang diberi judul “Cara membaca al-Qur’an dengan
bahasa Syro Aramaik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesukaran memahami
bahasa al-Qur’an” (Die syro-aramaic ische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur
Entschlusselung der Koransprhace). Luxemberg dengan berani mengklaim:
1. Bahwa
bahasa al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, banyak kata-kata dan
ungkapan yang sering dibaca keliru atau sukar dipahami kecuali dengan merujuk
bahasa Syro-Aramaik yang konon merupakan lingua franca pada masa itu.
2. Bahwa
bukan hanya kosakatanya berasal dari Syro-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun
diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen Syria
3. Oleh karena
itu, al-Qur’an yang ada tidak otentik , perlu ditinjau kembali dan diedit
ulang.
Di sini tampak bagaimana
orientalis-missionaris mendakwa diri mereka tahu dan paham mengenai al-Qur’an.
Untuk meyakinkan pembacanya,
Luxemberg menunjuk sejumlah contoh. Menurut hasil spekulisanya, kata qaswarah
dalam QS. 74:51 semestinya dibaca qasuurah.Kata sayyi’at dalam QS. 4:18
semestinya dibaca saniyyat, dari bahasa Syriak sanyata. Juga kata aadzanaka
dalam QS. 41:47 seharusnya dibaca idz-dzaka,dan seterusnya.
Sanggahan dan kritik atas Luxemberg
Tidak sukar untuk menyanggah
dan menolak Luxemberg, sebab seluruh uraiannya dibangun atas asumsi-asumsi yang
keliru.
Pertama, ia menyangka bahwa
al-Qur’an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh dengan sesuka hati
dan semena-mena berspekulasi mengenai suatu bacaan.
Kedua, ia menganggap tulisan
adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai neraca dan kriterianya, sehingga
suatu bacaan menurut teorinya mesti disesuaikan dengan dan mengikuti teks.
Ketiga, ia menyamakan
al-Qur’an dengan bibel, di mana setiap pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik
teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sukar untuk dipahami.
Ketiga asumsi ini dijadikan titik tolak dan dasar hujah-hujahnya taken for
granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya.
Menurut seorang pakar
semitistik yang juga direktur Orientalisches Seminar Universitas Frankurt,
Prof. Hans Daiber, dari sudut pandang metodologi pun karya Luxemberg ini cukup
bermasalah. Setidaknya ada lima poin yang dikemukakan oleh Daiber mengenai hal
tersebut:
Pertama, semua pakar filologi
yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu perkataan yang
ditulis gundul (tanpa baris tanpa harakat) dapat dibaca macam-macam, sehingga
tulisan yang sama boleh dibaca misalnya nabaat ataupun banaat. Semua
ini boleh saja dilakukan, tergantung konteksnya ataupun mengikuti kehendak dan
spekulasi si pembaca. Adapun Luxemberg dalam hal ini telah memilih jalan yang
kedua. Yang lebih celaka lagi, karena
yang dikorek-korek oleh Luxemberg bukan lagi teks gundul, melainkan kitab suci
al-Qur’an yang sudah ditentukan dan disepakati seluruh bacaannya.
Kedua, Luxemberg boleh jadi
telah keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya. Bahwa para mufassir
tidak dapat memahami kata-kata tertentu atau tidak dapat menjelaskan maksud
ayat-ayat tertentu bukan karena al-Qur’an berbahasa Syriak. Boleh jadi sejumlah
kosakata yang terdapat dalam al-Qur’an asli bahasa Arab tetapi belakangan
mengalami pergeseran makna sehingga para mufassir dikatakan menemui kesukaran
untuk menerangkannya.
Ketiga, andaikata pun memang
sejumlah kosa-kata tersebut berasal dari bahasa Syriak, bukan tidak mungkin
kata-kata asing tersebut telah di-islam-kan, telah ditukar dan diisi dengan makna
baru yang lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas makna asalnya.
Keempat, untuk mendukung
analisis dan hujah-hujahnya, mestinya Luxemberg merujuk Kamus bahasa Syriak
atau Aamaic yang ditulis pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi dan bukan menggunakan
kamus bahasa Chadean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna keluaran tahun 1900.
Kelima, boleh jadi juga kosa
kata al-Qur’an memang bahasa Arab asli, tidak seperti yang didakwa oleh
Luxemberg. Kalaupun ada kemiripan, maka itu hanya kebetulan saja. Sama halnya dengan kata “kepala” dalam bahasa Melayu-Indonesia
yang mirip dengan kata Kephole. Kemiripan tidak mesti menunjukkan
pengaruh dan pencurian.
Rasulullah saw., seorang yang ummi
Para orientalis mengira bahwa
tidak mungkin Nabi Muhammad buta hururf. Salah satu orientalis yang mengatakan
Nabi Muhamma tidak muungkin adalah seorang yang ummi ialah Abraham Geiger.
Menurut Geiger, terdapat Hubung kait antara kata “ummi” dengan ‘am-he-ares”.
Noldeke berpendapat, konsep
ummi di dalam al-Qur’an adalah konsep yang bertentangan dengan ahlul kitab.
Maksudnya, ummi merujuk pada masyarakat tanpa wahyu. Sementara Schwally
menganggap bahwa ummi berasal dari kata umma (bangsa, masyarakat) dan ini
pararel dengan bahasa Yunani Kuno laikhos dan laos yang artinya
masyarakat, pararel juga dengan bahasa Aramaik almaya. Schwally juga
menyatakan bahwa ummi merujuk kepada kosakata Ibrani um-ha-res.
Adapun Hirsfeld berpendapat
bahwa Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis. Dalam pandangannya, Nabi Muhammad
mengetahui aksara Ibrani ketika berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta
menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bisa menulis ketika di Medinah. Menurutnya,
sulit dipercaya jika Nabi Muhammad tidak bisa menulis ketika dia berusia 50
tahun. Selain itu, nama-nama dan kata-kata yang diungkapkan di dalam al-Qur’an
menunjukkan Muhammad salah membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan
yang tidak memiliki skill.
Horovitz berpendapat bahwa
Muhammad salah paham ketika mendengar kata “ummi” dari Yahudi di Medinah.
Muhammad mencampuradukkan dua istilah Ibrani yaitu ummot ha olam dan
am-ha-ares, sekelompok Yahudi yang tidak mengikuti isi kitab suci dan
mengeluarkan pernyataan-pernyataan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Menurut
Horovitz, Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 2 menyebutkan:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا
مِنْهُمْ...
“Dialah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka...”
Oleh karena itu, Muhammad
menyebut dirinya sebagai an-nabiy al-ummiy sebagaimana dalam QS.
Al-A’raaf ayat 156 dan 158 karena dia berasal dari Arab, bukan dari Israel.
Horovitz menafsirkan lebih jauh lagi surat ali Imran ayat 20 yang artinya: Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka
katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula)
orang-orang yang mengikutiku." Dan katakanlah kepada orang-orang yang
telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau)
masuk Islam." Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
(ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
Horovitz
menafsirkan kata “ummiyyun” di atas sebagai ummot ha olam, masyarakat
yang tidak diberi kitab, berbeda dengan para umat terdahulu yang diberi kitab.
Berbeda dengan ummiyun yang terdapat pada QS. Al-Baqarah ayat 78, yang merujuk
pada arti am-ha-ares, sekelompok Yahudi yang tidak mengetahui dan
mengikuti Taurat, namun mengikuti hawa nafsu mereka. Menurut Horovitz, Nabi
Muhammad bingung ketika mendengar kedua istilah Ummot ha olam dengan am-ha-ares.
H.G
reiner berpendapat bahwa dalam QS. 2:78 Ummiyun berarti seluruh Yahudi
di Hijaz. Sedangkan Alfres Guillaume berpendapat bahwa ummiyyun bukanlah
Yahudi sepenuhnya. Mereka adalah gentiles, yaitu orang-orang yang memeluk
Yahudi namun mereka bukanlah berasal dari Israel, tetapi dari bangsa-bangsa
lain.
Kesimpulan
para orientalis bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang buta huruf tidaklah
tepat. Menurut al-Zajjaj, “kata ummi berasal dari umat yang kondisinya seperti
saat dilahirkan oleh ibu, tidak mempelajari tulisan, dan tetap seperti itu
hingga dewasa. Dalam pandangan Ibnu Mandzur, kata ummi bermakna tidak bisa
menulis. Nabi Muhammad disebut ummi karena umat Arab tidak bisa menulis dan
membaca. Allah mengutus Nabi Muhammad yang tidak bisa menulis dan membaca
sebagai salah satu mukjizatnya, karena ia membaca kitab Allah dengan sangat
teratur, tepat, tidak kurang dan tidak lebih, ketika ia mengulang-ulanginya,
tidak sebagaimana orator Arab yang lain.
Para
sarjana Barat yang berpendapat Rasulullah bukan ummi tampak sekali ingin menjustifikasi
pengaruh Kristen-Yahudi terhadap al-Qur’an. Selain itu, pendapat tersebut juga
untuk menjustifikasi bahwa Nabi Muhammad adalah pengaran al-Qur’an.
Bagaimanapun, umat Islam telah membuktikan dan akan terus meyakini sepanjang
masa bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Rasulullah.
Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir
Hermeneutika, sebagai sebuah metode
penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat
ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya.
Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan
horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon
pembaca, maupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah
metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok
dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontektualisasi.
Menurut Nashr Hamid Abu
Zayd dalam bukunya, “Hermeneutika Inklusif”, problema dasar yang
diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa
teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan
merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di
sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-turats di
satu sisi, serta hubungan teks di sisi lain. Yang terpenting di antara sekian
banyak persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada
hubungan mufassir dengan teks.Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an
adalah teks yang berupa bahasa (nasshun lughawiyyun). Peradaban
Arab Islam tidak mungkin melupakan sentralisasi teks. Menurutnya,
prinsip-prinsip, ilmu-ilmu dan juga kebudayaan Arab Islam itu tumbuh dan
berdiri di atas teks. Namun demikian, teks tidak akan bisa apa-apa kalau
tidak ada campur tangan manusia. Artinya, teks tidak akan mampu mengembangkan
peradaban dan keilmuan Arab Islam apabila tidak mendapatkan sentuhan dari
pemikiran manusia. Dalam pandangan demikian, dengan kata lain agama sebagai
teks tidak akan berfungsi apabila keberadaanya tidak dipikirkan manusia. Karenanya,
ia berpendapat bahwa perkembangan Islam itu sangat tergantung kepada relasi
dialektis antara manusia dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan teks
pada sisi yang lainnya. Di sini jelas terlihat Nashr Hamid Abu Zayd mengganggap
Islam dan Al-Qur’an masih harus terus didialektikkan dan harus mengikuti
perubahan zaman, bukan hanya dalam tataran praktis, namun juga dalam tataran
konsep, termasuk konsep mengenai metode tafsir.
Terlebih lagi, Nashr Hamid dan para
hermeneut lain memandang Al-Qur’an hanya sebatas produk budaya, bukan ‘Kalam
Allah’ sehingga tidak lepas dari konteks sosio cultural masyarakat
Arab saat Al-Qur’an diturunkan (historis kritis). Metode penafsiran Nasr Hamid
yang melepaskan posisi teks Al-Qur’an dari ‘Kalam Allah’ dapat dilihat dari
kritikannya terhadap metode tafsir Ahlu Sunnah, dengan menyimpulkan : (1)
Tafsir yang benar menurut Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah tafsir yang
didasarkan pada otoritas ulama terdahulu; (2) Kekeliruan yang mendasar pada
sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha yang mengaitkan “makna teks”
dan‘dalalah’-nya dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini
bukan saja kesalahan “pemahaman”, tetapi juga merupakan ekspresi sikap
ideologisnya terhadap realitas – suatu sikap yang bersandar pada
keterbelakangan, antikemajuan dan anti-progresivitas. Oleh karena itu kaum
Ahlussunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur’an pada empat hal :
penjelasan Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.
Jadi, ketika konsep teks Al-Qur’an
dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai ‘Kalam Allah’ maka Al-Qur’an
akan diperlakukan sebagai ‘teks bahasa’ dan ‘produk budaya’ sehingga bisa
dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah
dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat
Al-Qur’an dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran Al-Qur’an sebgaai ‘Kalam
Allah’, maka barulah metode hermeneutika memungkinkan digunakan untuk memahami
Al-Qur’an. Metode ini memungkinkan penafsiran Al-Qur’an menjadi bias dan
disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat).
Akibatnya, kini muncul konsep-konsep seperti : 1) Relativisme Tafsir dan
dekonstruksi syari’ah dan 2) Menolak otoritas Mufassir.
Hermeneutik mengandung sejumlah asumsi dan
konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama. Kedua,
hermeneutika menganggap teks sebagai produk sejarah. Ketiga, hermeneutika
menuntut praktisinya untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari
manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut dengan
lingkaran hermeneutis, dimana makna senantiasa berubah. Keempat, hermeneutika
menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada
tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Kebenaran terikat dan tergantung
pada konteks.
C. PENUTUP
Rasulullah bersabda: “Siapa
saja yang mengatakan sesuatu mengenai al-Qur’an tanpa landasan ilmu dengan
opininya sendiri, maka ia telah memesan tempat duduknya di neraka.” (HR. Imam
At-Tirmidzi).
Sebagai umat Islam, tidak
selayaknya kita semata-mata mengambil metode tafsir yang digunakan oleh para
orientalis yang tidak beriman kepada Allah, kitab suci-Nya, maupun kenabian
Muhammad SAW. Atas dasar ideologi mereka yang menganggap bahwa al-Qur’an bukan
kitab suci atau bahkan Nabi Muhammad sebagai pengarang al-Qur’an, patutlah kita
menolak ide dan gagasan yang mereka tawarkan meski atas nama pembaharuan Islam.
Sumber bacaan:
Adnin Armas, M.A, Metodologi Bibel Dalam
Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, Jakarta:GIP, 2007, cet. ke-3.
Kartika Pamilia Leatari, Problematika
Hermeneutika Dalam Tafsir al-Qur’an, <http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=373:problematika-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-1&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103>,
akses 28 September 2012.
Syarif Syamsudin dkk, Kajian orientalis
terhadap al-Qur’an, UIN Syarif Hidayatullah.
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme
Pemikiran, Jakarta: GIP, 2008, cet. ke-1.
Syamsuddin Arif, Sekilas tentang kajian
orientalis terhadap al-Qur’an, <http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=377:sekilas-tentang-kajian-orientalis-terhadap-al-quran&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103>, akses Kamis, 20 September 2012.
Tulisan di atas merupakan makalah yang dipresentasikan oleh Ain Nurwindasari, mahasiswi FAI UAD Yogyakarta pada tanggal 6 Oktober 2012 di FAI UAD Yogyakarta. Sebagai tugas mata kuliah TAFSIR ORIENTALIS yang diampu oleh Prof, Drs. Sa'ad Abdul Wachid.
[1] Dikutip
oleh Syamsudin Arif dari artikel yang ditulis oleh Alphonse Mingana dalam
artikelnya Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI:77
Posting Komentar