Sebuah mahfudzat yang indah dan perlu kita renungkan..
Ya akhi lan tanaalal ‘ilma illaa bi
sittatin:
Dzikaa’in wa hirsin waj tihadin wa
dirhamin wa shohibil ustadzi wa thuliz zamani
(wahai saudaraku, kamu tidak akan
meraih ilmu kecuali dengan enam: cerdas, keinginan kuat, kesungguhan, dirham,
bersahabat dengan ustadz, dan waktunya lama)
Bukan masalah indahnya mahfudzat ini. Namun maknanya
yang mendalamlah yang perlu kita renungkan. Yupz, kita yang dikatakan sebagai
calon ulama dan sedang digodok di pesantren kita masing-masing, penting untuk
mengambil motivasi ini. Agar kita semakin mantap dengan proses kita menuntut
ilmu. Motivasi semacam ini lah yang mampu mengembalikan semangat kita yang
kadang atau sering turun di tengah jalan. So, mari kita urai mahfudzat di atas.
Baiklah, saudaraku, kita nggak akan bisa dapat ilmu
kecuali dengan enam hal ini: cerdas, keinginan kuat, kesungguhan, dirham,
bersahabat dengan ustadz, dan waktunya lama.
v Cerdas
Orang masuk pesantren kalo nggak
cerdas malah bikin puyeng aja menerima pelajaran-pelajaran dan sistem yang ada
di pesantren. Ada lho, di pesantren yang udah lumayan besar, para santrinya
dibedakan kelasnya berdasarkan lulus atau tidaknya dalam tes, atau cepat dan lambatnya
memahami apa yang disampaikan oleh ustadz/ustadzah di pesantren tersebut. Dan
tahukah kamu, ada kelas yang khusus untuk santri-santri yang berkali-kali nggak
lulus tes dan nggak bisa menangkap apa yang disampaikan oleh ustadz/ustadzah
seperti teman-teman di kelas lain. Misalnya nih, di kelas yang khusus tersebut
sang ustadz baru aja menyebutkan sebuah mahfudzat Man jadda wajada
beserta artinya perkata. Man= barang siapa, jadda=bersungguh-sungguh,
wajada=maka ia akan mendapati. Lalu sang ustadz mencoba menanyai para
santri apa yang baru saja ia ucapkan. Namun apa yang terjadi? Hening, sepi..!
Tak ada satu pun santri yang menjawab. entah karena tidak ada yang punya nyali
sama sekali, atau karena mereka semua memang lola (loading lama) dan harus berkali-kali
diajari dulu baru bisa menangkap pelajaran.
Apakah kita separah itu? Kawan, nggak
semua orang yang merasa dirinya nggak cerdas adalah bukan orang yang cerdas.
Tahu kan maksud saya? Yupz, banyak orang yang sebenernya cerdas tapi selalu
merasa nggak cerdas. Kenapa coba? Karena dia dikuasai oleh negatif thinking
pada diri sendiri bahwa dirinya nggak cerdas.
Padahal, masuk pesantren biasanya
pake tes dulu kan?! Pastinya kalo kita udah berhasil masuk pesantren dengan
sistem kayak gitu (ada tes sebagai persyaratan masuk) berarti kita termasuk
cerdas. Paling enggak kita kan udah mengalahkan sebagian orang yang mendaftar
ke pesantren itu. Meskipun jumlahnya nggak banyak, yang pasti kita sebenernya
punya kelebihan daripada mereka yang tersisih. Berarti kita cerdas kan. Sip..!
menurut mahfudzat di atas, untuk menuntut ilmu satu syarat berhasil kita
penuhi.
v Keinginan
kuat
Dalam menuntut ilmu sering kali di
tengah jalan kita ditempa godaan yang ringan maupun berat. Bahkan mau mulai
menuntut ilmu pun banyak godaannya. Belum lagi pas mengumpulkan ilmu dalam hati
kita ada kesulitan, misalnya hafalan kita lemah, pemahaman kita dibawah
rata-rata, atau kita punya penyakit ngantukan (hehe, ngaku aja..ngantuk sering
buat kita ketinggalan pelajaran kan). So, catet! kita butuh keinginan kuat.
Oh ya, nikah. Mahasiswa yang nyantri
di pesantren pasti banyak yang mengalami masalah ini. Bukan berarti menuntut
ilmu itu menghalangi nikah, tapi memang ada kan pesantren yang nggak
membolehkan nikah selama masa belajar. Dan harusnya kita udah bikin
perhitungan. Tentunya kita tahu kebijakan pesantren yang kita pilih itu kayak
gimana, termasuk kebijakannya soal nikah, jangka waktu menempuh ilmu disana
de-el-el. Nah, kalo kita udah tahu bahwa pesantren itu bikin kebijakan bahwa
santri atau mahasantri dilarang menikah sebelum lulus, kita mestinya menguatkan
azzam untuk bertahan di pesantren dan nggak keburu menikah. Makanya, kuatkan
azzam dalam menuntut ilmu (bukan azzam KCB lho).
Kalo azzamnya untuk menuntut ilmu
nggak kuat ya sangat mungkin seorang santri kemudian memilih untuk berhenti
dari menuntut ilmu di pesantren. Kita nggak seperti itu kan?!
v Kesungguhan
Sebenernya dimanapun dan bagaimanapun
kita, kesungguhan haruslah menyertai kita selalu. Nggak terkecuali saat kita
menuntut ilmu baik di pesantren maupun di luar pesantren. Nah, kalo di
pesantren nggak sungguh-sungguh, tinggal dan belajar disana nggak akan ada
bekasnya. Pas di pesantren pun, meskipun kita disuguhi kitab-kitab bermutu,
karena nggak sungguh-sungguh, malah nggak bisa mengambil manfaat dari
kitab-kitab yang tersedia di pesantren. Sayang banget kan.
Santri yang nggak sungguh-sungguh
hanya akan mengecewakan banyak orang, terutama orang tua. Mereka menyekolahkan
putra-putrinya di pesantren rata-rata dengan motif agar putra-putrinya tersebut
faham agama. Namun apa yang didapat putra-putri yang nggak berbakti? Keluar
pesantren nggak ada bedanya dengan anak-anak lainnya yang nggak belajar di
pesantren. So, kita butuh kesungguhan dalam diri. Karena kita mendapat amanah
untuk membekali diri dengan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Orang tua udah
merelakan kita hilang dari hadapannya selama beberapa waktu dan rela
mengorbankan harta plus pikirannya agar kita berhasil menjadi orang berilmu,
jika kita nggak sungguh-sungguh, rugi dong.
v Dirham
Dirham disini maksudnya ialah dana.
Kalo kita di Indonesia maka yang dimaksud adalah uang. Tentu kita sadar bahwa
di dunia ini nggak ada yang gratis. Semuanya butuh biaya alias harus bayar.
Termasuk pendidikan, sekalipun pendidikan agama. Bukan berarti ilmu itu
diperjualbelikan. Sedikit banyak, kita pasti butuh dana. Misalnya untukbeli
buku, fotocopy, membuat tugas, de-el-el.
v Bersahabat
dengan ustadz
Kenapa ilmu yang disampaikan oleh
sang ustadz susah banget masuknya padahal ustadznya menyampaikan penuh semangat
hingga mulutnya berbusa (nah lho, kasihan kan ustadznya). Itu bisa jadi karena
kita belum bisa bersahabat dengan ustadz. Ngaku aja deh, waktu ustadz masuk
kelas rasanya waktu berjalan begitu lambat. Iya kan?! Itu tandanya kita belum
bisa bersahabat dengan ustadz.
Mulai sekarang, kita coba deh
bersahabat atau minimal berdamailah dengan ustadz. Ketika bertemu dengan
ustadz, itulah waktunya kita minta transferan ilmu sebanyak-banyaknya. Itu bisa
kita lakukan dengan memperhatikan beliau waktu menerangkan pelajaran/kuliah
atau dengan banyak bertanya dan merespon dengan baik apa yang beliau
intruksikan kepada kita. Anggaplah ustadz adalah sahabat kita. Gimana
bentuknya?
a.
Sahabat itu kalo nggak ketemu rasanya
kangen.
b.
Seseorang biasanya mau mempersembahkan
yang terbaik untuk sahabatnya.
v Waktunya
lama
Ilmu agama itu nggak bisa didapat
dengan cara instan. Perlu perjuangan panjang dan melelahkan kalo kita mau
mendapatkan ilmu agama yang benar-benar mantap. Berpuluh-puluh tahun, bahkan
seumur hidup kita belajar ilmu agama. Itupun nggak menjamin kita bisa menguasai
ilmu agama semuanya. Iya kan?! Dan berapa lama kah kita belajar ilmu agama di
pesantren?
Kita sering kali merasa bahwa kita
terlalu lama di pesantren dan kita jadi nggak betah hidup disana. Padahal kita
belum apa-apa. Ulama pendahulu kita juga membutuhkan waktu yang lama untuk
menabung ilmu di hati mereka. Ibnu Hajar al-Atsqolani sampai putus asa karena
tak kunjung bisa menguasai apa yang disampaikan oleh gurunya. Hingga di suatau
gua beliau mendapati sebuah batu yang terlubangi oleh tetesan air. Berapa
lamakah waktu yang dibutuhkan oleh tetesan-tetesan air sampai bisa melubangi
batu itu? Tentu sangat lama. Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bahkan
ratusan tahun.
Mungkin, kita yang saat ini merasa
telah belajar keras namun belum mendapat banyak ilmu, itu hanyalah masalah
waktu. Kita harus menyadari, kita butuh waktu lama untuk menuntut ilmu. Tentu
saja, karena ilmu adalah barang berharga. Barang berharga itu tidak sama cara
perolehannya dengan barang-barnag yang lain. Butuh perjuangan ekstra, butuh
waktu ekstra, dan butuh kesabaran ekstra.
Kawan, kita udah mencoba memahami apa
aja yang menjadi faktor keberhasilan kita menuntut ilmu. Saatnya kita beranjak
ke permasalahan berikutnya. Yang nggak kalah penting untuk kita bahas adalah
hal-hal yang bisa menjadi hambatan dalam proses menuntut ilmu. Nah, bisa jadi
hal-hal itu bukan mutlak merupakan hambatan. Bahkan bisa jadi penunjang. Namun
karena kita nggak memahami hakikat hal-hal tersebut malah mereka menjadi
hambatan kita. So, langsung aja kita beranjak ke halaman berikutnya.
By: Ain Nurwindasari
PUTM Puteri, 2011
Saat penulis masih menjadi thalibat PUTM
semester 5