Sore ini hujan turun menyusul mendung, menimpali permukaan bumi tanpa ampun. Di luar rumah, anak-anak berlarian meluapkan kegembiraan mereka bertemu hujan. Aku tersenyum di balik jendela kaca memandangi mereka, mengiyakan bahwa hujan selalu menyenangkan bagi anak-anak kampung.
Gemericik hujan mulai melemah. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu beriring salam. Nisa, adikku yang paling bungsu bergegas lari membukakan pintu.

 “Mas Lathif, ada Mbak Fika.” Teriak Nisa sambil berlari masuk.

“Ya..!” Jawabku setengah berteriak dan bergegas menemui Fika.

 “Gimana Fik? Udah beres?”, tanyaku.

“Alhamdulillah, udah Mas.” Jawabnya sambil tersenyum. Wajahnya penuh binar kebahagiaan. Aku tahu dia sudah tidak sabar ingin mengikuti tes beasiswa di Jakarta. Seharian ini dia membawa motorku untuk mengurus administrasi yang harus ia bawa besok. Wajahnya tampak kelelahan. Bajunya basah oleh hujan sore ini, meski ia telah memakai mantel hujan muslimahnya.

“Selamat ya Fik. Semoga sukses lah!” Ucapku datar. “Kalau sudah sukses, balik lagi ke kampung..!” tambahku.

“Insyaallah.” Jawabnya penuh senyum dan harapan.

Sore itu Fika mendapat ucapan selamat perpisahan dari keluarga kami, karena besok pagi-pagi sekali dia akan bertolak dari Surabaya ke Jakarta. Fika mendapatkan beasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta selama empat tahun (S1). Fika sangat yakin bisa  menembus beasiswa yang diperebutkan oleh ribuan pendaftar itu. Ia sudah rindu meneguk ilmu lagi. Sudah hampir setahun ia tidak ‘sekolah’ karena lulus dari SMA dia langsung bekerja lantaran belum ada biaya kuliah. Tawaran beasiswa kali ini adalah kesempatan emas baginya.

Fika sudah seperti bagian dari keluarga kami. Bukan hanya karena kami bertetangga dekat atau karena aku direktur TPA dan dia ustadzah TPA, tapi karena keluarga kami memang berhubungan baik. Keluarga kami saling membantu satu sama lain dan sering kali kompak dalam banyak hal. Ayah dan ibu kami sering kali berpesan, “Anggap saja kita ini sekeluarga, kalau ada yang butuh apa-apa kita harus saling membantu.”

Mungkin kedekatan keluarga kami itu juga berdampak pada perasaanku. Kepergian Fika yang baru esok hari sudah membuatku khawatir. Hanya aku yang sore ini tidak se-legowo keluargaku melepas Fika yang sudah seperti anaknya ayah dan ibuku. Fika mesti sadar, ia membingkis harapan warga kampung ini, termasuk keluargaku. Fika juga berjanji dalam sms-nya beberapa hari lalu, “Semoga apa yang Fika lakukan akan membawa kemajuan bagi kampung kita suatu saat. Tidak sabar melihat TPA kita seperti TPA Mujahidin yang ada di Kota Surabaya itu.”

Tapi perasaanku tidak takhluk dengan janji itu. Astaghfirullah, Ada apa denganku? Kenapa tidak ikhlas dengan cita-cita Fika yang sungguh mulia itu?

Aku menyisipkan sebuah cerita lewat pesan singkat pada malam sebelum keberangkatan Fika. Berharap ia menyimpan ceritaku dalam memorinya dan ia mengerti kekhawatiranku.

dulu
Ada sekuntum bunga di tepi jalan. Bila dipetik ia mati, bila dibiarkan kita akan menunggu kapan ia terinjak dan mati. Lalu datanglah seekor gagak menunggu di sampingnya dengan setianya selalu berkata, “kau milikku”. Tapi bunga tetap diam dan tersenyum..
Hingga suatu hari datanglah tukang kebun yang memindahkan bunga itu ke pot di rumahnya, ia berjanji akan menjaganya. Sang gagak bahagia bunga berada di tangan orang yang tepat.
Namun akhirnya bunga lupa pada gagak, meski bunga suka tersenyum pada gagak.
Suatu hari dari jauh gagak melihat dengan cemas, apa bunga baik-baik saja dengan orang itu. Lalu gagak berkata, “mungkin tugasku sudah selesai dan cukuplah hari ini aku bersamanya.”
Aku adalah gagak yang akan tersenyum melihat bunga.

Beberapa saat kemudian aku menerima balasan, “Bunga mungkin akan tetap di tepi jalan,...”.
Fika akhirnya bercerita bahwa kedua orang tuanya—terutama ibunya—masih berat melepaskannya merantau ke Jakarta. Fika anak semata wayang dalam keluarganya. Sehingga ibunya ingin Fika kuliah di Surabaya saja. Aku kira ibunya telah rela melepas Fika, melihat kegigihan Fika dalam meraih beasiswa di Jakarta. Ah, lagi-lagi rasa sayang seorang ibu mengalahkan segalanya.

Dalam situasi seperti ini justru aku yang jadi dilema. Berat melihat Fika pergi meninggalkan kampung ini, tapi aku juga tidak ingin Fika mengubur hidup-hidup niatnya yang mulia untuk menuntut ilmu. Tapi aku bisa apa? Sedekat apapun keluarga kami dengan keluarganya, kami tetap membatasi diri untuk ikut campur dalam urusan seperti ini. Aku memilih tidak membalas smsnya satu pun, karena takut salah ucap. Bagiku kini yang terbaik adalah diam.

Tengah malam hujan begitu deras mengguyur bumi sekitar kampung kami. Petir dan kilat bergantian menggelegar. Dilemaku belum juga hilang. Aku belum bisa tidur. Dalam pikiranku masih ada Fika. Entah kenapa aku sekhawatir ini. Aku teringat nasihat ibu ketika aku galau; “Rasulullah apabila sedang dilema, beliau shalat.”

Segera aku ambil air wudhu dan bergegas shalat. Sebelum beranjak, aku kirim sms kepada Fika:
“Fik, Rasulullah apabila sedang dilema, beliau shalat.”

Fika tidak membalas, mungkin dia menjawab dengan shalatnya yang penuh doa syahdu.
Pagi harinya ponselku berdering, aku segera mengakhiri dzikir sesudah shalat subuhku.

“Assalamu’alaikum,” Suara di ujung sana menyapa.

“Wa’alaikumussalam, Ada apa Fik?”

“Mas Lathif, Fika jadi berangkat ke Jakarta pagi ini. Bapak dan ibu sudah mengijinkan.” Tuturnya dengan nada bergetar.

“Alhamdulillah...” Seruku.

“Mas Lathif, Makasih atas semuanya Mas. Fika pamit.. Assalamu’alaikum..”.

Di pagi yang masih hening itu, hanya Tuhan yang tahu apa sebenarnya yang aku rasakan. Mungkin benar kisah tadi malam, aku adalah gagak yang hanya bisa tersenyum melihat bunga.

Oleh : Ain Nurwindasari

Desember, 2012

3 Komentar

Posting Komentar