A. Hakam Saifullah Baihaqi, Banyuwangi


Tokoh yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusi al-Ghazali ini dilahirkan di Ghazalah. Di dekat kota kecil Thus di Khurasan. Ayah beliau adalah seorang pemintal wol di Thus. Dikenal sebagai orang yang dekat dan mencintai ulama juga cendekiawan. Tak satu forum agama pun yang tidak dihadirinya. Dari kegemarannya itu ia berharap mempunyai putra yang meneruskan perjuangan ulama pendahulunya, mengobarkan obor-obor agama.

Usaha dan doanya tidaklah sia-sia, ia dikarunia dua orang putra yang kelak menjadi orang yang terpandang di dunia Islam. Pertama, Imam Ghazali. kedua, Imam Ahmad yang bergelar Majd ad-Din. Saudara al-Ghazali ini lebih sering berkecimpung dalam dunia dakwah, kendatipun ia juga seorang faqih yang mumpuni.


Sejak kecil Imam Ghazali dididik langsung oleh ayahnya sendiri. Ia belajar dasar-dasar ilmu agama dan membaca Al-Quran kepadanya. Setelah ayahnya wafat, ia dan saudaranya, Ahmad, dititipkan kepada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad ar-Razikani, seorang sufi besar, untuk dididik dan diurus semua kebutuhan hidupnya. Selanjutnya ia disekolahkan di sebuah sekolah yang menanggung biaya hidup muridnya. Di antara gurunya adalah Yusuf an-Nasj.


Beberapa tahun kemudian, ia menuntut ilmu ke Jurjan. Di sana ia belajar berbagai macam disiplin ilmu. Di antara gurunya adalah Imam Abu Nasr al-Ismaili. Selang beberapa tahun kemudian ia pergi ke Naisabur, sebuah kota yang menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan saat itu. Dia diterima masuk di Madrasah Nizhamiyah pimpinan Imam al-Haramain al-Juwaini. Kepadanya Imam Ghazali belajar ilmu kalam dan logika.
Selain dikenal sebagai tokoh yang ahli ibadah, Imam Ghazali juga tergolong penulis yang produktif. Hampir 100 buku yang ia tulis. Meliputi ilmu Kalam (teologi Islam), Fikih, tasawuf, Filsafat, Akhlak, dan Autobiografi. Buku-bukunya ditulis dengan bahasa Arab dan Persia serta telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.


Bukunya yang terkenal di bidang filsafat adalah Maqashid al–Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Sedangkan di bidang keagamaan bukunya yang sangat fenomenal adalah Ihya’ Ulum ad-Din dan al-Munqizh min adh-Dhalal. Buku-bukunya banyak dikaji dan hampir menjadi rujukan wajib di perguruan-perguruan tinggi Islam sejak masa itu hingga kini. Walaupun dikarang saat dia masih berusia muda, karya-karyanya cukup diminati dan dikagumi oleh banyak kalangan.


Dalam perjalanannya, al-Ghazali banyak mengkaji buku-buku filsafat. Ia terus menekuni disiplin ilmu ini dalam masa dua tahun yang dilanjutkan dengan perenungan dan pengkajian mendalam. Ia mulai menemukan kelemahan dan kesesatan ajaran filsafat yang mengantarkannya untuk segera meng-counter dalam buku-bukunya.


Setelah al-Juwaini meninggal, ia pun meninggalkan Naisabur menuju Muaskar, guna memenuhi panggilan Perdana Menteri Nizham al-Mulk, pendiri madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya ia diangkat menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah di Baghdad pada tahun 1090 M. Tidak lama ia di sana. Lima tahun kemudian (1095) ia mengundurkan diri. Pada tahun itu pula ia meninggalkan profesi sebagai guru. Posisinya digantikan saudaranya, Ahmad.


Setelah tahun itu, ia memasuki fase kesufian. Ia mengembara selama 10 tahun. Ia banyak merubah penampilannya, dari cara berpakaian hingga potongan rambut, cambang dan jenggotnya, sehingga banyak orang yang tidak mengenalinya. Pada masa itu ia mengurung diri di masjid Damaskus. Di masjid inilah ia menyusun karya masterpiece-nya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din.

Pada tahun 1105 ia kembali mengajar di madrasah Nizhamiyah. memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizham al-Mulk. Namun hanya sebentar. Ia lalu kembali ke Thus mendirikan Halaqah (sekolah khusus sufi) sampai ia meninggal di kota tersebut pada tahun 1111 M.

sumber : www.sidogiri.dom

Post a Comment