SECERCAH ASA

Matahari mulai condong ke barat. Tepat pukul empat sore, Slamet baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Matanya berbinar melihat hasil kerja yang ia garap sejak pulang sekolah tadi. Ya, tumpukan kertas ujian yang telah ia koreksi. Siang tadi ia mendapat tugas dari pak Junaidi, guru yang amat menyayanginya itu untuk mengoreksi hasil ujian semester adik kelasnya. Tiga bidang studi : Kimia, Fisika dan MTK.
“ Alhamdulillah, selesai juga akhirnya. Sekarang…..yah, mandi!” Slamet melirik arah jarum jam yang beranjak meninggalkan angka empat itu. Bergegas ia menuju gudang bekas perpustakaan yang sekarang menjadi tempat tinggalnya itu. Ia mengambil peralatan mandi dan juga baju yang akan ia pakai shalat Ashar nanti.
Slamet sendiri sudah seperti petugas penjaga sekolahnya. Meskipun sekolahnya sudah memiliki dua satpam itu, pak Paijo dan pak Bandu. Slamet memang tak seberuntung teman-temannya yang biasa menikmati kebersamaan dan kehangatan keluarganya serta fasilitas yang selayak mereka pula.
****
Usai shalat Ashar Slamet ke ruang kecilnya. Perutnya terasa lapar juga. Siang tadi dia tak makan sesuatu pun. Uangnya tinggal beberapa ribu untuk makan malam atau sarapan saja. Dibukanya lemari kecil disudut ruangan itu. Tak ada apapun yang bisa ia makan sore itu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa kepada Allah agar memberinya kekuatan untuk bersabar. Ia tersenyum pahit. Tapi, disini ia justru menemukan sebuah kenikmatan yang luar biasa, sabar dan syukur masih setia menemaninya.

Slamet bukanlah seorang sufistik namun dunia ini terlalu keras untuk ia hadapi. Dunia tak bersikap selunak sikapnya pada temannya. Dalam keteduhan hati ia berucap sambil tersenyum “Allah bersama-sama orang yang sabar!”
****
Sebenarnya minggu ini adalah giliran pak Paijo yang bertugas menjaga sekolah malam hari ditemani Slamet. Tapi nampaknya beliau tidak bisa melaksanakan tugasnya malam ini. Kemarin beliau kurang fit dan mungkin sekarang kondisinya belum membaik. Tapi kemarin beliau sudah berpesan dan minta maaf seandainya hari berikutnya tidak bisa jaga.
Ternyata benar. Pak Paijo tak kunjung datang hingga larut malam. Slamet bermalam sendiri di komplek sekolah ini. Dan itu adalah hal biasa baginya. Tak ada yang perlu di takutkan kecuali Allah. Yang pasti ia telah melaksanakan kewajibannya. Memastikan semua pintu kantor , jendela kantor maupun kelas telah terkunci rapat. Itu saja! Selanjutnya ia bertawakkal pada Allah SWT, Yang Maha Pelindung dan menguasai semuanya.
****
Slamet tidak tidur di gudang biasanya malam ini. Itu atas saran kepala sekolah agar dia tidur dikantor guru yang dekat dengan kantor kepala sekolah. Pak Bayu, kepala sekolahnya itu menyuruh demikian agar mengantisipasi kehilangan inventaris sekolah yang sebagian besar yang berupa barang berharga ditempatkan dikantor guru kepsek (Kepala Sekolah).
“Pyar!!!” Tiba-tiba pecahan kaca dan gaduhnya beberapa benda yang jatuh terdengar dari ruang kantor kepsek. Spontan Slamet lari dan secepat kilat ia berlari menghampiri sumber suara itu. “Tiks….!” Dinyalakanlah ruangan lampu itu.
“Astafirullah ada yang berusaha mencuri disini!” Slamet kaget bukan main melihat kondisi kantor yang berantakan. Diperiksanya beberapa inventaris berharga di ruangan itu. Sebuah TV yang menempel di dinding ruangan, sebuah komputer dimeja kepala sekolah dan dua buah laptop di almari. Semuanya utuh. Bahkan seperti belum tersentuh sama sekali. Matanya berbinar lega.
“Alhamdullilah ya Allah! Engkau masih menjaga semua inventaris berharga ini yang mungkin aku tak kan mungkin menggantinya, jika sampai hilang. Dan …..Alhamdulillah Engkau masih menjagaku” ungkapnya penuh syukur. Ia hampir tak percaya jika barang-barang itu masih utuh. Hanya beberapa benda yang mungkin tertabrak oleh si pencuri itu seperti kotak pensil dan pecahan kaca dan gelas yang berserakan dilantai.
Dipandanginya sekelilingnya sekali lagi. Hatinya masih berdebar dan jantungnya berdegub kencang meski ia sudah berusaha menenangkan diri dan bersyukur tidak menemukan kerugian yang berarti. Ia berencana akan memberi kabar kepala sekolah Ba’da shubuh saja.
Sebuah jam weker berbentuk apel masih bertengger tenang di sudut meja, seakan member isyarat bahwa belum terjadi apa-apa diruangan kecil ini. Ia menunjukkan pukul 04.00.
“Astagfirullah, sebentar lagi fajar tiba. Aku belum bertahajud” Slamet baru sadar bahwa waktu sepertiga malam terakhir ini hampir meninggalkannya. Tanpa menunggu lama ia bergegas mengambil air air wudhu. Mungkin ia masih bisa mengerjakan beberapa rakaat shalat tahajjud di sisa-sisa malam ini.
Tapi….ada yang mengganjal hatinya disini. Biasanya poselnya selalu bordering setiap pukul 03.00 untuk menggunakannya. Tetapi tidak untuk malam ini, Ada apa dengan ponselnya? Atau dia sendiri yang terlalu lelap dalam tidurnya?.
Usai berwudhu ia memeriksa laci Pak Junaidi tempat ia meletakkan ponselnya sebelum tidur tadi malam. Dan betapa terperajatnya remaja polos ini mendapati laci yang telah kosong. Tak ada ponsel disana.
“Ya Allah, ternyata ponselku yang raib.” Jantungnya berdegub kencang lagi. Ia menghela nafas. Pelan.
“Ini sungguh aneh. Pencuri itu bersusah payah memasuki kantor ini hanya untuk mengambil ponselku?” lagi-lagi ia menghela nafas, kali ini lebih dalam dan menyembulkan senyuman. Ia tertegun sejenak.
“Ya…Aku mengerti ya Allah. Inikah bentuk kasih sayang-Mu? Ujian inikah bentuk kasih sayang-Mu? Alhamdulillah ya Allah engkau masih menyertakan kesabaran dihati ini “ucapnya berkaca-kaca.
Dengan tenang Slamet melangkahkan kakinya ke ruang tengah kantor guru itu. Di lantai yang tak begitu luas ia bentangkan sajadahnya lantas ia mendirikan shalat tahajjud.
Malam ini begitu hening. Kejadian barusan sama sekali tidak mengurangi kekhusyu’an munajadnya kepada Illahi.
*****
Siang ini matahari amat terik. Beberapa menit lalu para siswa SMA Jiwa Pemuda telah berhamburan meninggalkan sekolah. Jalan-jalan yang beraspal nampak berkilauan. Kilaunya menyilaukan setiap orang yang lewat.
Disebuah jalan memasuki jalan Kepatihan, seorang remaja berseragam SMA mengayuh sepedanya. Sebuah buku yang sengaja dibuka bertengger diatas setirnya pula. Rupanya sang pengendara sepeda itu sedang belajar ditengah jalannya. Ia membaca sambil menghafal diatas sepeda.
Remaja itu bernama Slamet. Sungguh sebuah kagiatan yang tak mungkin dilakukan oleh teman-temannya dikala itu. Beberapa temannya yang sempat melihatnya seketika terkesiap kagum sekaligus terharu. Betapa mereka jauh lebih beruntung dari Slamet. Mereka bisa pulang tanpa mengayuh sepeda dibawah mentari yang terik sejauh kurang lebih sepuluh kilometer.
Tak biasanya Slamet pulang, Ya, hari ini ia hendak pulang menemui ibunya dirumah. Hari ini tidak ada tanggung jawab yang mesti ia tunaikan disekolahnya. Dan seminggu sudah ia tak bertemu dengan sang Ibu. Itu karena tanggung jawab disekolah dan organisasinya terlalu banyak dan padat untuknya.
Ia rindu Ibu. Ya, sang ibu yang mampu seorang remaja bernama Slamet. Remaja yang senantiasa ditemani kesabaran dan kesyukuran, yang menjadi siswa berprestasi sekaligus siswa teladan disekolahnya.
“Dan air mata ini selalu jatuh mengingat jasamu, ibu” ungkapnya suatu ketika sambil meneteskan air mata.
****
AIN NURWS 2010

1 Komentar

Posting Komentar