Namanya Hasan Namanya Ahmad Nur Hasan. Aku memanggilnya Hasan meski ia lebih tua 5 tahun dariku. Ku kenal ia sekitar setahun yang lalu hanya via sms. aku lupa tepatnya kapan. awalnya aku ogah-ogahan berkenalan dengannya. Masalahnya awal perkenalan yang tidak indah. Kakak iparnya lah yang pertama kali menghubungiku. Aku lupa namnya siapa. kalau tidak salah Mustafa. Tapi sekarang Mustafa malah yang tidak ku ketahui kabarnya. Nomor HP Mustafa hampir sama dengan nomor HP ku. hanya berbeda satu angka yang paling belakang. Ktanya beliau hanya isenng melacak nomor. Tapi entah bagaimana Mustafa malah mnegenalkanku dengan adik iparnya itu, Hasan. Hasan pertama kali menyapaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang remaja sekali. tentang bagaimana caranya kita bisa mencintai dengan tulus. Ia mempunyai kekasih yang sangat dicintainya. Namun ia tidak bisa memastikan apakah kekasihnya juga mencintainya sebesar cintanya kepada kekasihnya. Aku justru menanggapinya dnegna negatif. Aku bilang, "Mungkin belum saatnya kamu mencintai kekasihmu. Cintailah Allah maka kamu tidak akan kecewa". Ya kira-kira seperti itu. Namun Hasan trenyata lebih mengerti masalah cinta kepadaku. Ia mendebatku dengan lebih hebat. "Bukankah Nabi SAW membutuhkan Khodijah, bukankah Adam membutuhkan Hawa, bukankah Yusuf juga membutuhkan Julaikha?" dan seterusnya. Aku merasa ia lebih faham denganku tentang masalahnya sendiri. Kenapa harus tanya kepadaku? Tapi kemudian aku baru mengerti bahwa Hasan hanya ingin teman diskusi. Aklu sempat menolak Ketika Hasan menyatakan keinginannya untuk menjadikanku teman diskusi. Aku takut kalau-kalau hubungna kami akan berlanjut lebih jauh lagi. Mungkin hanya pikiranku saja yang negatif. Aku pikir sebaiknya ia berdiskusi dengna temanku saja yang putra. Tidak sebaiknya ia berdiskusi denganku. Maklum, aku orangnya deffensif waktu itu. Aku takut dengan hal-hal baru, termasuk orang-orang baru. Namun Hasan tidak menyerah. Ia terus meyakinkanku bahwa ia akan menjadi teman diskusi yang baik. Tidak ada salahnya kita berdiskusi dalam rangka mencari ilmu. "Bukankah Hasan Al Basri dan Robiah Al Adawiyah juga seperti itu? Buktinya mereka mampu menjaga hati masing-masing. Tidak terjadi apa-apa di antara mereka meskipun mereka terus bertukar ilmu, berdiskusi dan berdilog. Semua itu tergantung kita." Selanjutnya Hasan suka diskusi denganku dan aku pun senang mendapat teman diskusi seperti Hasan. meskipun kami sering berseberangna pemikiran. Ia sangat maklum. Sejak saat itu kau berteman dengannya.Ya, teman maya.. Tidak ku sangka, mereka adalah keluarga kyai. Orang yang cukup terhormat di lingkungan Jawa. Kamu tahu, Hasan adalah cucu dari seorang kyai bernama Bisri Mustafa. Aku tidak tahu pasti apakah cucu langsung ataukah saudara kakeknya atau bagaimana. Tapi yang pasti Bisri Mustafa adalah ayah dari kyai Mustafa Bisri. Kyai besar dan cukup terkenal di Indonesia ini. Hasan tinggal di sebuah desa terpencil di Bojonegoro. Tepatnya di Kepoh Baru. Aku juga tidak tahu Kepoh baru itu kecamatan ataukah desa. Informasi itu ku dapatkan dari Hasan sendiri saat ku tanyakan alamatnya dimana. Hasan juga ikut mengasuh di pondok pesantren warisan kakeknya itu. Namnaya pondok Ihyaul Ulum. meskipun sebenarnya ia enggan menjadi pengurus pondok, apalagi menjadi pengasuh. Ia ingin menjadi diri sendiri, bukan orang berkedudukan atau terkenal karena keturunan. Tapi mau bagaimana lagi. Itu sudah mnejadi keputusan kakeknya yang kini sudah dijemput malaikat Izrail menemui sang kekasih, Allah SWT. Informasi yang ku tangkap dari interaksi kami yang hanya lewat sms ini mingkin juga ada yang kurang tepat. Itulah yang ku tangkap. Hasan sekarang menjadi salah satu ustadz di pondok pesantren Ihyaul Ulum Bojonegoro tersebut. Tepatnya ia mengajar Alfiyah. Ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) yang berbentuk syair berbait-bait ynag jumlahnya 1000 bait. Hebatnya, Hasan juga sudah mencetak buku berkaitan dengan Nahwu.Ia berusaha membuat ilmu Nahwu mudah dipahami dengan dibuat seperti syair yaang juga diberi penjelasan/syarah. Subhanallah.. hebat! Meskipun ia tinggal di desa, tapi pemikirannya sudah maju. Bahkan ia lebih maju daripada aku yang tinggal di kota dan sebagai mahasiswa. Kemarin Hasan baru memberi kabar bahwa ia beberapa hari yang lalu mengalamai kecelakaan. Aku tidak tahu separah apa lukanya. Ia dirawat oleh ibu dan santrinya. Ia pun tak mau cerita separah apa lukanya. Yang pasti ia merasa sudah agak pulih. Pantas saja ia tidak membalas SMS ku beberapa hari yang lalu. Terbersit dalam pikiran, "bagaimana jika Hasan meninggal, atau aku yang meninggal dan kami belum pernah berjumpa.." Hasan bilang jika bisa memilih ia kan memilih mati. Sepertinya lebih nikmat. Melepas ruh dari jasad dan kepenatan hidup. Ia ingin bertemu dengan Yang Maha Pengasih.. "Hanya kecintaan terhadap dunia dan diri sendiri lah yang menghalangi seseorang bertemu dengan-Nya.." Aku banyak belajar darinya tentang kesungguhan hidup. Bahwa hidup ini mutlak dengan perjuangan. Kita tidak akan selamanya bergantung kepada orang tua. Kita tidak akan selamanya tinggal di asrama, makan tercukupi, hidup bersama orang-orang sefaham, tidak berseberangan dan baik-baik saja. Kuliah kita yang sebenarnya harus kita rasakan. Bukan hanya di ruang kelas. Melainkan di sawah, pasar, kampung dan tempat-tempat yang membuat kita berfikir, INILAH HIDUP! 
 Aku ingin tahu salah satu scene dalam hidup yang ia jalani. Bagaimana ia bisa bersikap bijak dalam hidup. Bgaimana ia bisa memunculkan ide-ide 'gila'nya dalam merubah dunia.. 
Bantul, 17 Oktober 2010 Ain Nurws

Post a Comment