FILSAFAT PARA KORUPTOR
Plato mengatakan bahwa filsafat tidak lain adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada. Aristoteles berpendapat bahwa kewajiban filsafat ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Sehingga filsafat merupakan ilmu yang sangat umum sekali. Lalu, apa hubungannya dengan koruptor?
Koruptor, makhluk paling merugikan dalam kehidupan umat manusia. Tidak ada satu pun orang yang setuju dengan aksi korupsi mereka kecuali yang mempunyai mentalitas korupsi juga. Semua orang normal pasti mengecam yang namanya korupsi dan pelakunya, bahkan mungkin makhluk selain manusia pun ikut mengecam para koruptor. Namun seperti yang kita saksikan, para koruptor di sekitar kita sama sekali tidak merasa sudah mendapat kecaman dari semua makhluk di muka bumi ini. Bahkan mereka semakin beraksi dan memperbanyak diri. Dari pejabat tinggi hingga pejabat kampung semua sudah terkena virus mematika bernama korupsi ini. Sepertinya merasa aman-aman saja dan merasa sudah berada di jalan yang benar. Hingga sulit kita cari pejabat yang bersih dari mental korupsi.
Dalam sejarah kehidupan manusia, seorang filsuf dipandang sebagai orang yang bijak di antara manusia pada umumnya. Karena ia akan senantiasa berusaha mencari kebenaran hakiki dari segala sesuatu yang ada, memikirkan manfaat dan kerugian, sebab dan akibat, dan aspek-aspek yang berkaitan dengannya sehingga sangat sulit baginya untuk melakukan tindakan bodoh di dunia ini. Sedangkan orang yang bertindak selalu merugikan umat manusia biasanya ialah orang yang egois, sombong, dan jarang berfikir. Kalau pun berfikir mereka tidak berfikir panjang melainkan berfikir pendek dan lebih tepatnya hanya mementingkan diri sendiri.
Apapun filsafat seorang koruptor, yang pasti ia tak bersungguh-sungguh dalam menyelami falsafah hidupnya sendiri. Orang yang berfilsafat mestinya orang yang selalu berfikir dan mempertanyakan hakikat segala sesuatu yang ada yang ia temui, termasuk pekerjaan yang ia lakukan dengan hati jernih dan cara berfikir yang sistematis. Tentunya koruptor tidak melakukan itu. Mereka hanya memikirkan apa saja yang ingin mereka dapatkan, tanpa memikirkan apakah cara mendapatkannya itu benar atau salah, merugikan atau bermanfaat bagi orang lain, dan pertanyaan-pertanyaan mendasar lainnya yang seharusnya mereka pertanyakan pada diri sendiri sebelum mengeruk uang yang bukan haknya. Dan berfikirnya itu pun hanya sebentar, tidak ingin berpusing-pusing mencari mana yang memang benar dan mana yang kurang benar atau tidak benar.
Maka seandainya para koruptor itu diajari filsafat dengan baik dan benar serta mampu menggunakan ilmu filsafat tersebut dalam kehidupan sehari-hari, tentu mereka tidak akan melakukan tindakan korupsi. Mereka akan melakukan pekerjaan yang jauh lebih arif (bijaksana) daripada korupsi. Mereka pasti sadar bahwa perbuatan korupsi sungguh terlaknat dan mereka akan jijik dengan korupsi itu sendiri. Tentu jika koruptor itu sering berfilsafat, ia akan mempertanyakan, “Apa hakikat uang? Apa hakikat harta? Apa hakikat korupsi?”, dan seterusnya.
Kira-kira apa jawaban para koruptor jika kita bertanya kepada mereka, “Apakah filsafat hidup Anda selama Anda melakukan tindakan korupsi?”, atau “Apakah Anda tidak memiliki filsafat hidup sehingga Anda melakukan korupsi?”, Apakah mereka bisa menjawabnya?. Mungkin di antara mereka akan menjawab “filsafat saya selama ini ialah ‘gunakan kesempatan sebaik-baiknya sebelum kesempatan itu pergi dari hadapanmu’”. Mungkin sambil terkekeh tanpa mau tahu makna filosofis dari falsafah hidupnya itu sendiri. Bukankah pencuri sandal di masjid saja juga punya filsafat “Ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk”.?

Yogyakarta, 11 Desember 2010
Ain Nurwindasari



IKHLASH

Post a Comment