MENDETEKSI VIRUS KEIKHLASAN
“Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba-Nya yan tidak diketahui oleh malaikat sehingga menuliskannya, tidak diketahui oleh setan sehingga merusaknya, atau tidak diketahui oleh hawa nafsu sehingga membelokkannya” (Al-Junaid)
Salah satu cara menjaga keikhlasan adalah dengan belajar mengenal diri terus menerus, apakah kita termasuk orang yang shaadiq, yang jujur dalam beramal, atau kaadzib, pendusta yang sekedar lip service. Yakni dengan mengetahui tanda-tandanya.
Menurut Ibnu Atha’ilah A-Sakandari dalam kitab Al-Hikam, orang yang shaadiq beramal terus menerus karena Allah dalam berbagai situasi dan kondisi. Sedang orang yang kaadzib beramal satu atau dua hari, lalu jika berduyun-duyun orang datang menyambutnya, maka ia teruskan amalnya. Tapi jika tidak, iia pun meninggalkan amalnya. (Tarbawi, edisi 50 tahun ke-4 halaman 58).
Tulisan ini tidak bermaksud mencampuri keikhlasanmu, hanya Allah yang tahu. Yang pasti, kita mesti berhati-hati, agar godaan popularitas tidak menggerogoti kualitas ikhlas. Popularitas bisa menjadi virus. Kita deteksi virus itu agar tidak menjalar menjadi penyakit hati yang mematikan. Yakni:
1. Keinginan berhenti dari suatu amal perbuatan. Ini disebabkan karena merasa belum hadirnya rasa ikhlas, lalu putus asa dengan amal yang dirintisnya. Misalnya, tergoda meninggalkan aktifitas dakwah memilih menjadi orang biasa karena melihat para aktifisnya mulai disorientasi. Padahal, “kekeruhan dalam berjama’ah itu lebih baik daripapa jenih dalam kesendirian.” Saudara kita itu cermin kita. kalau cermin itu kotor, itulah kita. maka bersihkan bukan pecahkan lalu tinggalkan, cari cermin lagi lalu pecahkan lagi. Tidak menyelesaikan masalah.
2. Bergeser dari keinginan semula, karena pengaruh bermacam-macam kebutuhan. Seperti kisah mujahid yang bunuh diri karena nggak mati-mati, lelah menanti memilih bunuh diri. Abu Bakar pernah memutuskan bantuan pada orang yang menebar fitnah terhadap Aisyah dalam haditsul ifki. Rosulullah pun mengingatkannya agar tetap melanjutkan kebaikan dengan menjaga keikhlasan.
3. Muncul rasa ragu terhadap suatu amal perbuatan. Misalnya, doa yang belum dikabulkan, muncul prasangka bahwa Allah tak lagi menyayanginya. Berfikir positiflah, barang kali Allah sangat suka mendengar lantunan doa-doa kita yang tak kenal lelah.
4. Muncul rasa bosan karena usaha kerasnya dalam dakwah, tarbiyah, pembinaan, pelayanan tidak atau belum menampakkan hasil.
5. Membandingkan dengan orang lain yang menurut hitungannya usahanya tidak seberapa kok hasil melesat cepat luar biasa. Kita yang usaha amat lama kok dapatnya segitu saja? yang nggak sholat kok kaya, yang sholat kok malah miskin. Apa masih kurang ikhals?
“Sesungguhnya jalan mencapai puncak itu sulit. Tetapi tetap bertahan di puncak jauh lebih sulit. Barang siapa yang mengintip pahala karena keikhlasan, maka menjadi ringanlah tugas yang berat itu.” (Ibnul Jauzi)
(Dikutip dari tulisan Sholihin Abu Izzudin dalam bukunya, “ Hero, Happy Ending Full Barokah” halaman 279-282)

Minggu, 01 Mei 2011

Post a Comment