Nama : Ain Nurwindasari
Tema : Ibu-ibu karyawan bank pemerintah di Jakarta
A. KARAKTERISTIK IBU-IBU KARYAWAN BANK PEMERINTAH
Berikut ini merupakan sedikit gambaran karakteristik ibu-ibu karyawan bank pemerintah di Jakarta.
1. Usia dan jenis kelamin
Ibu-ibu karyawan Bank Pemerintah di Jakarta ialah para perempuan berusia sekitar 30-50 tahun yang bekerja di suatu bank pemerintah yang bertempat di Jakarta.
2. Kondisi geografis, sosial, dan ekonomi
Secara geografis, ibu-ibu karyawan pemerintah di Jakarta bisa dikatakan sebagai masyarakat kota karena mereka bertempat tinggal di daerah Jakarta dan sekitarnya. Ibu-ibu karyawan Bank pemerintah biasanya tinggal di perumahan elit ataupun rumah yang bisa dikatakan menengah ke atas. Hal ini karena penghasilan para karyawan bank baik bank pemerintah maupun swasta terbilang mencapai Taraf Hidup Layak (THL).
Ibu-ibu karyawan bank pemerintah di Jakarta sudah dapat digolongkan dalam kategori mad’uw dewasa. Pada umumnya mereka telah menyadari arti penting hukum bagi kehidupan masyarakat. Baik hukum yang ditetapkan oleh agama maupun pemerintahan. Karena ibu-ibu karyawan bank pemerintah ini termasuk masyarakat kota maka dalam pergaulan mereka cenderung individualis, yakni cenderung lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain atau kelompok. Selain itu mereka memiliki sifat kompetitif untuk bersaing dalam kehidupan. Baik dalam mengejar materi maupun mengejar ilmu dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam hal berfikir, ibu-ibu karyawan bank pemerintah akan cenderung berfikir rasional, yakni menerima argumen ataupun masukan yang dianggap masuk akal, serta subtantif (independen), dalam hal ini mereka tidak menerima doktrin-doktrin yang dianggap membelenggu rasionalitas mereka. Oleh karena itu, masyarakat seperti mereka akan sangat sulit mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal atau mistis.
B. PENERAPAN METODE DAKWAH
Penerapan metode dakwah dengan mad’uw ibu-ibu karyawan bank pemerintah di Jakarta yang memungkinkan dan paling efektif ialah dengan metode fi’ah (kelompok/jama’ah) dengan sarana lisan maupun kitabah (tulisan) yang diintegrasikan dengan metode dakwah kultural dan rasional.
Dakwah billisan yakni bisa dilakukan dengan cara memberikan ceramah rutin di masjid-masjid bank pemerintah tersebut. Sedangkan melalui kitabah (tulisan) ialah dengan memberikan makalah yang berisi materi ceramah agar mad’uw tidak cepat lupa dengan materi yang diterimanya. Selain itu bisa juga dengan membuat buletin mingguan yang berisi materi-materi keislaman. Metode dakwah fi’ah bil lisan wal kitabah ini lalu diintegrasikan dengan metode dakwah kultural dan rasional. Namun, tidak menutup kemungkinan jika ditemui adanya permasalahan yang bersifat personal maka da’i harus menggunakan metode dakwah fardiyah (pendekatan personal).
C. MATERI DAKWAH
TEMA: INDAHNYA BEKERJA UNTUK IBADAH
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Alhamdulillah, marilah kita beryukur kepada Allah Ta’ala atas segala nikmat dan karunianya yang tak terhitung yang dilimpahkan kepada kita. Dan marilah kita bersholawat kepada Rosulullah SAW. Karena beliaulah yang telah menyampaikan risalah Allah berupa agama Islam. Dan, bersholawat satu kali kepada beliau, akan mendapatkan sholawat sepuluh kali dari Allah SWT.
Ibu-ibu yang dirahmati Allah SWT, pada kesempatan kali ini kita akan mempelajari ilmu tentang “indahnya bekerja untuk ibadah”.
Tujuan utama kita hidup adalah untuk beribadah
Ibu-ibu sekalian yang dirahmati Allah SWT, tujuan kita diciptakan tidak lain adalah mengabdi kepada Allah SWT. Dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56, Allah SWT berfirman:
Artinya:“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:56)
Maka apapun yang kita kerjakan di dunia ini seharusnya kita niatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Termasuk ketika kita bekerja. Sering kali manusia tidak menyadari apa tujuan ia diciptakan di dunia. Sehingga manusia dengan mudah melakukan sesuatu sesuai kehendaknya tanpa memperdulikan apakah yang dilakukannya itu dibolehkan oleh Allah SWT ataukah dilarang oleh-Nya, apakah pekerjaannya itu merugikan orang lain atau tidak.
Jika manusia menyadari tujuan mereka diciptakan, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT, maka mereka akan berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Bekerja tujuan utamanya bukanlah mencari uang, akan tetapi mengharap keridhoan Allah SWT. Kesadaran ini akan berdampak pada profesionalitas dalam bekerja. Allah menghendaki hamba-Nya berbuat baik (profesional), karena Allah SWT yang akan menilai pekerjaan hamba-Nya. Allah SWT berfirman YANG Artinya: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan. (QS. Taubah:105)
Ibu-ibu sekalian, saat ini kita melihat banyak sekali kasus-kasus korupsi baik di pemerintahan, perusahaan-perusahaan, maupun di bank-bank dan tempat-tempat lainnya yang sangat merugikan banyak pihak. Hal ini tentu membuat kita prihatin karena korupsi merupakan bentuk kedzaliman. Di satu belahan bumi di Indonesia ini kita melihat banyak fakir miskin, namun di belahan bumi Indonesia yang lain kita menyaksikan korupsi yang semakin menjadi-jadi. Hal ini sangat mungkin terjadi dikarenakan tidak adanya kesadaran bahwa bekerja itu seharusnya untuk beribadah. Mereka yang korupsi itu hanya mengejar harta. Mereka tidak menyadari bahwa harta tidak akan ada artinya jika diperoleh dari jalan yang diharamkan oleh Allah SWT.
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah:188)
Mereka juga tidak menyadari bahwa Allah SWT selalu mengawasi mereka dimanapun dan kapanpun, seperti yang difirmankan-Nya pada ayat 105 surat At-Taubah itu.
Dunia tidak menjamin kebahagiaan hidup
Padahal dunia tidak menjamin kebahagiaan hidup kita. Bukankah kebahagiaan itu berasal dari diri kita sendiri apabila kita bisa memperoleh sesuatu dengan jalan yang dibenarkan? Kebahagiaan tidak tergantung pada harta benda. Karena buktinya para koruptor dengan harta melimpah mereka tidak pernah tenang menjalani kehidupan. Entah itu karena mereka selalu dihantui rasa bersalah, ataupun karena takut kehilangan harta yang telah didapatkannya. Namun faktanya memang demikian. Tidak semua orang kaya merasakan kebahagiaan hidup. Justru orang-orang yang hidup di desa dengan harta seadanya, mereka bisa hidup tenang dan bahagia. Maka kuncinya adalah bersyukur. Allah SWT berfirman yang artinya "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim:7)
Ibu-ibu sekalian, bekerja dengan niat ibadah akan membuat kita ringan dalam mengerjakan tugas-tugas kita serta membuat kita berusaha mempersembahkan yang terbaik dari apa yang kita kerjakan. Ini karena yang ada dalam pikiran kita bukanlah hal-hal yang bersifat kasat mata saja, misalnya bekerja dengan tujuan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Seharusnya ketika bekerja, yang ada dalam pikiran kita, motivasi utama kita adalah beribadah kepada Allah SWT dan mencari keridhoan-Nya. Bayangkan saja jika kita sudah mencintai seseorang, maka kita akan berusaha membuat orang yang kita cintai agar bisa bahagia dengan cara melakukan apa yang ia sukai dan tidak melakukan yang ia benci. Secara logika, semakin tinggi tujuan kita maka semakin tinggi pula kualitas kerja kita. Sebaliknya, semakin rendah tujuan kita, semakin rendah pula kualitas kerja kita.
Sahabat Rosulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shidiq pernah mengatakan: barang siapa menghamba pada Yang Maha Mulia niscaya akan mulia, dan barang siapa yang menghamba kepada yang hina niscaya akan hina.
Teman kerja bisa mempengaruhi
Ibu-ibu sekalian, terkadang kita sudah berusaha menjadi baik di lingkungan kerja kita, namun orang-orang di lingkungan kerja kita ternyata mengajak kita untuk berbuat buruk, baik secara langsung maupun tidak. Ya, pengaruh lingkungan itu sangat kuat. Jika kita bisa mempengaruhi mereka agar menjadi baik, itu sangat bagus. Namun bagaimana jika kita yang justru terseret arus? Disinilah iman kita diuji. Di saat-saat seperti inilah kita harus menggunakan hati nurani. Apakah kita akan mengikuti hati nurani ataulah nafsu? Tergantung bagaimana kualitas keimanan kita. Ketika teman kerja mendorong kita melakukan korupsi, dan pada saat itu kesempatan untuk melakukannya ada, apa sikap kita? Rosulullah SAW pernah bersabda:
وَمَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْهُ شَيْءٌ أَصَابَكَ مِنْ رِيْحِهِ، وَمَثَلُ الْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْكِيْرِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْ سُوَادِهِ أَصَابَكَ مِنْ دُخَانِهِ (رواه ابو داود)
Artinya:
“Dan perumpamaan teman yang baik, ibarat seorang penjual minyak wangi. meskipun ia tidak memberikan minyak wanginya, setidaknya kita mendapatkan aromanya yang semerbak. Sementara perumpaan teman yang jahat, ibarat orang yang pandai besi. Meskipun kita tidak terkena asap hitamnya, setidaknya kita akan mencium bau busuk dari tungkunya.” (HR. Abu Daud)
Ibu-ibu sekalian yang dirahmati oleh Allah SWT, jika kita bekerja dengan niat ibadah, akan sangat kecil kemungkinan kita berbuat dzalim kepada orang lain seperti melakukan korupsi, menyalahgunakan dana yang dipercayakan kepada kita, berbuat curang, menyuap, dan sebagainya. Karena bagaimana mungkin kita ingin mempersembahkan yang terbaik dari pekerjaan kita kepada Allah SWT dan orang lain sementara cara yang kita gunakan justru membuat Allah SWT murka dan membuat orang lain menderita? Dari sini kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa solusi terbaik untuk permasalahan-permasalahan seperti korupsi, penyalahgunaan dana perusahaan, dan perilaku dzalim lainnya ialah dengan menanamkan kesadaran pada diri kita bahwa tujuan kita bekerja tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Wallahu a’lamu bis showab.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Post a Comment