Filsafat MH? Maaf jika judulnya terlalu muluk. Seharusnya cukup dengan “memaknai MH” . Tapi untuk menarik perhatian pembaca, judul itu terpaksa harus saya sematkan. Dan tidak akan ada pembahasan MH dengan sangat mendalam disini. Hanya akan mengajak berfikir untuk memaknai MH, sebagai persiapan untuk MH kita kali ini. selanjutnya, tentu terserah Anda..
MH, singkatan dari muballigh hijrah, selalu dilaksanakan setiap tahun dalam rangkaian kegiatan PUTM. Saya sendiri sudah dua kali mengikuti MH ini. Tahun 2011 ini insyaallah adalah ketiga kalinya. Dan seperti tidak lengkap jika saya tidak menulis tentang MH sebelum saya diutus menjadi peserta MH 2011 ini. Menurut saya MH selalu memberikan kesan bahagia, senang, dan yang sepadan dengan itu. Hehe. Apakah itu karena fasilitas yang saya dapatkan? ataukah dakwah saya sukses? Atau banyak orang yang antusias dengan dakwah yang saya dakwahkan? Yang pasti MH itu menyenangkan. Banyak pengalaman yang kita dapatkan dari MH. Betul?!!
MH. Apa sih yang sebenarnya kita cari dari tempat MH? Teman, saudara, cinta, dakwah, atau apa? Heran juga ketika MH menjadi topik pembicaraan, yang sering dibahas adalah tempat MH dan partner MH. Apakah itu tujuan MH? Apa sebenarnya tujuan MH itu sendiri? pertanyaan-pertanyaan itu sering menggelitik di benak saya sehingga membuat saya menulis ini.
Dari lafadznya saja sudah berbunyi “MH, Muballigh/Mubllighat Hijrah”. Waw, keren sekali. paling tidak peserta MH berarti orang yang akan berdakwah di suatu tempat yang ia disitu sebagai muhajirin/muhajirat. Yang perlu kita garis bawahi adalah dakwah-nya. Bukan yang lain. Yapz, kita ber-MH adalah untuk menyampaikan ilmu yang sudah kita dapatkan dari bangku kuliah kepada masyarakat yang belum merasakan belajar seperti kita.
Ok, MH berasal dari dua kata yang dijadikan sebagai sebuah frase. Dua kata itu ialah Muballigh dan Hijrah. Sepertinya dua kata itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sehingga saya tidak perlu mencetaknya miring. Muballigh berasal dari kata ballagha-yuballighu yang artinya menyampaikan. Sedangkan hijrah berasal dari kata hajara yang artinya meninggalkan. Dan sudah menjadi sebuah istilah dalam bahasa Arab “hijrah” yang berarti pindah ke negri lain, atau migrasi (Kamus Al-Munawir). Maka dari sini Muballigh Hijrah itu bisa kita artikan sebagai orang yang menyampaikan nilai-nilai Islam dengan berhijrah ke negri lain, atau minimal ke daerah lain.
Maka dalam MH kita tentu mempersiapkan apa yang akan kita sampaikan di tempat MH, bagaimana strategi menghadapi audiens di tempat MH, dan kita tentu mempersiapkan semangat untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. So, kata kunci yang sungguh penting untuk kita ingat adalah kita akan “menyampaikan”. Bukan memaksa orang untuk mengikuti apa yang kita sampaikan. Bukan mendoktrin, apalagi menghipnotis. Maka sampaikanlah dengan hati, dan hati-hati agar dakwah kita menjadi lebih bermakna. Untuk apa kita melakukan aktivitas yang seakan-akan dakwah jika itu semua tidak ada artinya dikarenakan dakwah yang kita sampaikan tidak santun, tidak bijak, bahkan memaksa, dan tidak ikhlas? Tentu bukan seperti itu dakwah yang kita mau. Kita bukan mencari pengikut sebanyak-banyaknya, tapi menyampaikan cinta Allah dengan cara yang sebaik-baiknya.
Saya jadi ingat kata-kata seorang peserta MH tahun lalu waktu memberikan pengajian di masjid kepada ibu-ibu, bahwa kesuksesan dakwah itu bukan dilihat dari banyaknya orang yang mengikuti dakwah kita, melainkan dilihat dari besarnya semangat kita meski kita berkali-kali menerima penolakan dari orang yang kita dakawahi. Keren...!
Kata kedua, Hijrah. Pindah dari tempat asal kita ke tempat yang lain. Sebenarnya kita ini sudah hijrah dari kampung halaman masing-masing ke PUTM Jogja. Tapi kali ini kita hijrah lagi, dari PUTM ke kampung-kampung, baik di dekat kota maupun pelosok. Untuk satu tujuan; dakwah. Maka kalo kamu MH tapi nggak mau pindah, tempatnya mau di asrama aja, itu bukan MH. Tapi Cuma muballigh, tapi nggak hijrah. Gimana dunk dengan yang ditempatkan di asrama? Kan mereka nggak minta. Ya nggak masalah. Kan bukan mereka yang minta. Atau mereka memang dibutuhkan.
MH bukan rutinitas belaka
Apapun yang kita lakukan, tentu kita ingin semua itu mempunyai makna disamping menjadi rutinitas. Kuliah misalnya, memang tidak bisa kita nafikan bahwa kuliah adalah rutinitas, tapi jangan lupa untuk menyematkan makna di setiap kuliah kita. minimal, kuliah kali ini harus menambah ilmu baru, wawasan baru, cara berfikir yang baru, kedewasaan yang baru, dan lain-lain. Demikian juga MH. Jangan jadikan hanya sebagai rutinitas tahunan. Sayang sekali. coba deh kita persiapkan hati kita mulai sekarang agar MH kita bernilai dan bermakna.
Langkah awal adalah niat. Maka pasang niat yang benar sebelum berangkat MH. Niatnya apa sih? Kalo di tengah jalan niatnya mulai melenceng, coba di-refresh/tajdiidun niyaat.
Siapkan hati, tenaga, dan fikiran untuk memberikan yang terbaik buat masyarakat MH. Bila perlu, siapkan gambar-gambar untuk kegiatan mewarnai yang bisa kita berikan kepada adik-adik TPA. Siapkan khutbah jum’at (bagi yang putra) untuk disampaikan ketika kamu ditunjuk menjadi khatib jum’at. Siapkan kisah-kisah menarik dari para Nabi maupun para ulama terdahulu. Sambil cerita, sambil menyampaikan hikmah. Tentu saja harus dengan cara hikmah.
Siapkan positif thingking bahwa MH kita kali ini akan menyenangkan. Dimanapun tempatnya, yang penting kontribusi apa yang bisa kita berikan buat mereka. bukan apa yang kita terima dari mereka. Bagaimana kita mentransfer ilmu yang sudah kita dapatkan kepada mad’uw kita. so, sangat wajar jika kita memilih tempat MH yang kira-kira kita nggak akan mubadzir disana. Serta tidak terlalu menjadi beban bagi tuan rumah.
Kita juga bisa mengambil pelajaran dari warga masyarakat MH. Sering kali orang-orang kampung memberikan pelajaran tentang arti kesederhanaan, qona’ah, rendah hati, dermawan, dan sebagainya. Padahal teori-teori itu sudah kita dapatkan di kelas, tapi dalam kehidupan nyata sering kali hati kita bisa tersentuh daripada hanya berupa teori-teori.
Partner
Kata partner sudah lazim dipakai untuk teman kerja di saat MH. Tidak usah kita bahas siapa yang pertama kali mencetuskan penggunaan kata partner ini. tapi partner bisa menjadi permasalahan tersendiri. Partner yang baik itu seperti apa sih? Yang cakep kah? Yang cantik kah? Yang suka ngasih jajan? Yang perhatian? Atau yang bisa diajak berkonspirasi untuk melancarkan visi dan misi?
Siapa partner kita seharusnya tidak menjadi masalah yang berarti bagi kita. Yang penting bagaimana kita bisa bekerja sama dengannya untuk melancarkan dakwah kita. tapi bisa juga menjadi masalah jika partner kita itu adalah lawan jenis yang menarik. Kita cakep dan dia menarik. Siapkan pertahanan hati. Lewat percakapan ringan, sms tidak penting, bisa juga menjadi jembatan kalian untuk saling tertarik. Gaswat bukan??
Lebih parah lagi jika ada yang serumah dengan partnernya yang lawan jenis. Hati-hati saja. pasang tanda peringatan besar-besar. Maaf jika ada yang tersinggung. Tapi untuk mengantisipasi saja.
Dengan partner kita yang sejenis, kita harus kompak. Bukan berarti dengan lain jenis kita nggak boleh kompak. Tapi ya kalo bisa dengan partner kita yang sejenis ini jangan sampai ia merasa kita tinggalkan, merasa kita cuekin, atau merasa minder dari kita. support partner kita, dimotivasi, disemangati. Buatlah partner kita selalu PD dengan apa yang ia sampaikan. Kalau ada yang mau diperbaiki, jangan sungkan-sungkan untuk memperbaikinya. Sebaliknya, jadikan dia penasihatmu yang pertama jika dia memang masih memungkinkan. Kalo bukan kita yang memperhatikannya, siapa lagi?
Nah, kalo ada masalah jangan dibesar-besarkan. Maafkan ya, jika partnermu ada salah. Kalian itu jauh dari teman-teman dan orang tua. Kalaupun ada yang sedaerah, di gunung kidul misalnya, tapi yang pasti yang saat ini ada bersama kamu adalah partnermu.
Partner, pasti dia akan memberikan kesan tersendiri ketika usai MH.....
Bagi yang nggak sama partner, alias sendirian di tempat MH? Saya pernah, di tahun kedua, sendirian di tempat MH. Ya, nggak harus jadi masalah jika memang harus sendirian di tempat MH. Hanya saja, ada yang lumayan dekat. Tapi itu pun kegiatan kami tidak ada yang kerja sama. Kami bekerja sendiri-sendiri. namun kebetulan setiap pagi ada kajian di tempatnya, jadi saya bisa mengikutinya. Tapi kegiatan MH di tempatku bisa berjalan tanpa adanya partner. Kan teman-teman remaja masjid juga banyak. Dan ada jama’ah masjid yang bisa kita jadikan partner. Tiada rotan akar pun jadi.
Fasilitas MH
Ini juga menjadi masalah bagi peserta MH. Jangan sampai kita mau atau tidak mau ditempatkan di tempat MH seperti Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, Jogja, Bantul, hanya karena memandang fasilitas. Ya, apa bedanya dengan pejabat yang hanya memikirkan fasilitas itu?
Target MH
Apa terget MH kita? yapz, minimal memberikan pencerahan kepada masyarakat sekitar. Dan yang tak kalah penting adalah membuat diri kita sendiri lebih baik dari sebelumnya.
Bisa juga kita buat menjadi beberapa point, misalnya; selesai MH masyarakat harus bisa membaca qur’an, ada kegiatan remaja masjid yang tadinya vakum, atau terbentuk kajian ibu-ibu, dan lain-lain.
Melihat kegiatan MH itu sendiri sangat singkat, sepertinya tidak ada perubahan besar yang akan kita ciptakan. Namun minimal itu; membuat penceraha, membuat semua keadaan menjadi lebih baik, tentunya sesuai kapasitas kita.
Ok. Selamat MH.
Kamis, 21 Juli 2011
By: cahaya mata
Posting Komentar