Pondok Sampang, Kamis, 04 Agustus 2011
Sejak kemarin, angin di lereng gunung ini terasa kencang dan dingin. Aku sendiri merasa kedinginan. Inilah kampung pondok, sampang, yang menjadi tempat tinggalku untuk sementara waktu. Mungkin di kampung ini aku akan membawa pencerahan. Dan mungkin aku yang akan mendapat banyak pencerahan seperti di kampung-kampung lain. Banyak hal baru yang membuat aku ingin bercerita disini.
Di kampung ini, kebanyakan penduduknya adalah kaum sepuh (tua). Hampir tidak ada kaum muda yang mau tinggal di kampung yang damai ini. Alasannya adalah karena kampung ini tidak bisa memberikan masa depan yang menjanjikan bagi kaum muda. Makanya mereka lebih memilih untuk keluar kampung dan bekerja di kota-kota lain. Ada yang ke Jakarta, Lampung, Cilacap, Cianjur, dan lain-lain. Di lereng gunung ini yang ada hanyalah tanah yang gersang. Padi tidak bisa tumbuh subur, begitu juga jagung. Mungkin jagung bisa, tapi hasilnya jauh dari memuaskan. Maka warga memanfaatkan lahan mereka yang luas itu untuk menanam jati, pisang, mangga, dan pohon-pohon lain yang tidak begitu produktif.
Pisang memang produktif, tapi tidak begitu menjanjikan juga. Apalagi jati, sudahlah tidak berbuah, lama pula memanennya. Maka kaum muda hanya bisa bekerja di luar. Dan mereka mungkin mengirim kabar dan sejumlah uang untuk kedua orang tuanya yang masih bertahan di kampung.
Kampung ini terasa sepi, namun damai. Orangnya baik-baik. Jika malam kampung ini terasa dingin dan sangat sepi. Di kanan kiri jalan hanyalah ada pohon-pohon jati yang saat ini terlihat jarang daunnya. Angin yang menyapu pohon-pohon itu menghasilkan suara khas hutan. Jika berjalan sendirian di jalan yang diapit oleh hutan jati ini akan merinding sendiri, meskipun hanya beberapa meter saja untuk pergi ke masjid.
Rumah-rumah di kampung ini terlihat jarang. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain adalah puluhan meter. Sehingga mereka seperti tidak bertetangga. Jika Anda adalah orang asing, mungkin Anda tidak menyangka bahwa di sebelah barat ternyata masih ada rumah meski harus melewati jalan terjal.
Halaman rumah yang dimiliki oleh warga sangatlah luas. Biasanya terhampar berbagai macam pohon. Mulai dari pohon jati, pisang, sono, bunga kaktus, dan lain-lain. Anak-anak riang bermain di halaman rumah. Memang menyenangkan sekali menjadi anak-anak kampung disini. Aku yakin mereka sangat mencintai kampungnya. Namun aku tidak yakin, untuk sepuluh tahun atau belasan tahun yang akan datang mereka akan tetap tinggal disini.
Dari rumah pak sri, jika harus ke masjid juga harus melewati jalan yang mendaki. Orang yang tidak biasa mendaki (seperti aku) akan kecapekan untuk sampai di masjid. Tapi warga disini begitu semangat meramaikan masjid. Sepertinya sudah tidak terasa lagi jalan yang mendaki. Mereka biasa saja berjalan menuju masjid meski dengan mendaki. Padahal seperti yang saya sebutkan tadi, mereka sebagian besar adalah kaum sepuh.
Pada pagi hari akan dijumpai pemandangan yang mengagumkan. Seorang nenek tua menuntun sepeda onthel yang di belakangnya ada kunyit untuk dijual ke pasar yang jaraknya sekitar 20 kilo meter. Nenek tua ini juga melewati jalan-jalan terjal, bukan jalan biasa. Subhanallah. Sementara nenek-nenek dan kakek-kakek yang lain juga tidak kalah giat. Sebagian mereka sudah berangkat ke sawah ataupun pasar. Yah, yang aku lihat disini adalah geliat para sesepuh yang rajin bekerja dan beribadah. Mungkin kaum muda dari mereka juga sedang bergeliat semangat bekerja maupun beribadah, tapi tidak telrihat di sekitar lereng gunung ini.
Aku pernah mendengar guyonan kakek-nenek seusai sholat shubuh berjama’ah dan mendengar kultum ba’da shubuh, “ten mriki kunir didang mboten pait niku..(disini kunyit direbus tidak pahit itu..”)” aku berekspresi penuh ketidakpahaman. Kakek nenek itu pun tertawa melihat aku yang tidak paham. mereka kemudian menjelaskan, “kunir niku mbak, nek didol terus ditumbaske beras, diliwet lak mboten pait..”(kunyit itu mbak, kalo dijual lalu dibelikan beras, berasnya ditanak kan nggak pahit rasanya.” hmmmmm... aku baru ngeh. hehehe. Lucu juga kakek dan nenek ini. Mereka pun tertawa lepas, dan aku pun tertawa lepas juga.
Yah, begitulah. Penduduk disini mengandalkan tanaman-tanaman seperti kunyit, asem, pisang, dan lain-lain untuk dijual ke pasar dan dibelikan barang-barang yang mereka butuhkan.
Orang-orang sepuh disini semangat untuk bekerja dan beribadah. Padahal mereka juga dihidupi oleh anak-anak mereka yang sudah bekerja di luar. Tapi mereka punya semangat bekerja. Mereka bekerja keras. Bagaimana dengan kita yang masih muda????

BY : CAHAYA

Post a Comment