Tahun ini adalah kesempatan Muballigh Hijrah (MH) terakhir bagi kita (thalabah/thalibat PUTM angkatan 2012). Rasanya ingin ada MH lagi tahun depan. Tapi kemungkinan besar kita sudah tidak akan lagi melaksanakan tugas MH. Dan, tahun ini bagiku adalah tahun paling mengharukan ketika berpisah dengan bapak-ibu tuan rumah serta semua warga yang ada di tempat MH. Rasanya kami sudah seperti keluarga sendiri.
Sabtu malam, 20 Agustus 2011, aku dan partnerku (Mbak Bashiroh) berpamitan dengan jama’ah Al-Muttaqin. Sepatah-dua kata pun meluncur dari mulut kami sebagai ungkapan kesan dan pesan selama melaksanakan tugas MH di Pondok Laban-Sampang-Gedangsari-Gunung Kidul ini. Yang pertama, kami sampaikan bahwa kami senang dan bahagia bisa mendapat kesempatan bersialturrahim dengan warga Sampang disini, baik dengan bapak-bapak, ibu-ibu, mbah-mbah, maupun adik-adik yang belajar di TPA Al-Muttaqin. Kalian telah memberikan sambutan yang sangat baik kepada kami. Kami ucapkan terima kasih pula kepada kalian yang telah menfasilitasi kami selama kami tinggal di Pondok Laban-Sampang ini. Terutama untuk Pak sri dan bu wening yang sudah memberikan kami tempat tinggal selama tiga minggu ini dan memberikan kami fasilitas serta memperlakukan dan menyayangi kami layaknya anak sendiri. Kami mungkin tidak akan bisa membalas kebaikan kalian.
Kami melihat warga desa Laban ini cukup antusias dan semangat untuk menuntut ilmu maupun ibadah. Kami lihat dari antusias mereka ketika berangkat ke mesjid, meski sebagian besar warga disini rumahnya jauh dari masjid al-muttaqin ini, bahkan harus mendaki dan menuruni gunung, mereka toh tetap berangkat dan tidak telat mengikuti sholat jama’ah. Subhanallah.. Belum lagi ketika ibu-ibu harus mengikuti pembimbingan hafalan bersama kami, mereka sampai pulang jam 20.30, dan pulangnya harus melewati jalan-jalan yang tanpa penerangan, mereka toh tetap semangat dan antusias mengikuti pembimbingan hafalan surat-surat pendek dengan kami. Salut..!
Demikian juga kami salut dengan semangat adik-adik TPA Al-Muttaqin yang semangat mengaji meskipun rumahnya jauh dari lokasi TPA. Bahkan ada yang dari kampung lain dan harus diantar oleh orang tua maupun saudaranya, atau membawa motor sendiri. Mungkin pemandangan seperti di Laban ini belum pernah kami temukan sebelumnya. Sehingga semua ini menjadi pelajaran yang besar bagi kami. Bahwa memang sudah seharusnya kita bersemangat untuk beribadah maupun menuntut ilmu. Tidak alasan untuk tidak semangat. Karena masih banyak orang yang tidak punya fasilitas dan kemudahan seperti yang kami dapatkan untuk beribadah dan belajar, namun mereka lebih semangat daripada kami.
Kami juga mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila selama kami tinggal di tempat MH, kami melakukan kesalahan-kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Kami masih belajar dan belum banyak pengalaman. Maka dari awal kami sudah mengatakan bahwa ketika ada yang salah dari kami, langsung saja ditegur. Kami akan sangat senang sekali jika demikian. 
Semoga ukhuwah kita tetap terjalin. Dan semoga masyarakat Sampang, khususnya Laban, bisa semakin maju dan makin semangat belajar dan beribadah. Amien.
Setelah kami menyampaikan kesan dan pesan MH ini, Pak sri memberikan tanggapan secukupnya. Namun tanggapan itu membuat air mata kami tumpah. Hampir semua ibu-ibu menangis. Padahal isinya cukup sederhana. Bahwa warga disini merasa senang dengan kedatangan kami, menyambut baik kedatangan kami, dan merasa terbantu dengan keberadaan kami. Mungkin Allah menurunkan rasa cinta kepada kami, peserta MH dan juga warga Laban ini. Terasa berat jika sudah sayang kemudian harus berpisah. Kemudian Pak Sri melanjutkan bahwa semoga ukhuwah kita tetap terjalin. Dan kami semua mengamininya.
Seusai perpisahan itu, rasanya ada yang membuat dada menjadi sesak. Perasaan berat untuk berpisah dengan kalian...
Di luar masjid, Apri menangis tersedu-sedu. Aku tidak habis pikir jika anak seperti dia bisa menangis karena akan kehilangan kami. Bu Tujiah, ibunya Apri, berusaha menenangkannya. Apri masih menangis. Bahkan ketika aku mendekatinya tangisannya semakin keras. Aku semakin terbawa suasana. Kemudian Apri dan ibunya pulang.
Esok harinya, Minggu, 21 Agustus 2011, seperti yang sudah kami rencanakan, aku dan partnerku, mengajak adik-adik TPA Al-Muttaqin yang rumahnya di Laban, untuk jalan-jalan pagi ke Puncak Tumpang. Disana kami membagikan hadiah atas prestasi mereka mengaji selama Ramadhan ini bersama kami. Hadiah yang diberikan adalah untuk seluruh santriwan-santriwati TPA Al-Muttaqin Laban. Namun tentu saja ada hadiah bagi santri paling berprestasi kategori pertama, kedua, juga favorit. Tak lupa kami mengabadikan momen-momen terakhir kami bertemu pada Ramadhan ini. Ada foto yang sendiri-sendiri, ada juga yang bareng-bareng. Rasa bahagia membuncah di hati kami.
Sesuai jalan-jalan, anak-anak menunggu keberangkatan kami di depan rumah pak Sri. Waktu itu masih sekitar jam 07.20. Rencananya kami akan berangkat pukul 09.00. Mereka merasa senang-senang saja dengan harus menunggu sekian lamanya. Dan ternyata, karena berbagai hal, kami jadi molor (maaf ya dek...). akhirnya kami berangkat jam 10.00. Meskipun begitu mereka tetap setia menunggu keberangkatan kami. Subhanallah...
Aku keluar rumah dan menghampiri anak-anak yang sedang bermain di sekolahan yang hampir jadi (calon gedung Madin Al-Muttaqin). Begitu melihatku datang, Rama, salah seorang santriwan langsung memintaku berpose untuk difoto dengan kamera HP-nya. Aku tersenyum dan mengiyakan (emang ain-nya juga narsis,,xixixi)
Kami juga berfoto bersama menggunakan kamera digital Pak Sri. Kami yang berfoto adalah aku, Mbak Bashiroh, Pak Sri, Bu Wening, Istiiqomah (putri sulung Pak Sri), Lia (putri kedua Pak Sri), Salsa (putri ketiga pak Sri), Pak tuo (bapak kandung pak Sri), Abdan (peserta MH di Watu Gajah, Gedangsari), Ridwan (peserta MH di Kedungbanteng, Sampang-Gedangsari), dan anak-anak TPA Al-Muttaqin yang masih setia menunggu kami (ada Irma, Rama, Heni, Dicky, dan Apri). Setelah berfoto ria, kami pun harus berangkat ke Jogja. Pak Sri bersama istri dan putri-putrinya mengantar kami ke PWM Jogja menggunakan mobil Carry jadul. Mobil sedan Pak Sri tidak cukup untuk memuat kami, sehingga pak sri harus meminjam mobil yang labih besar agar bisa menampung kami. Tak apalah mobil jadul, asal bisa berangkat. Kami bersyukur.. 
Apri, Irma, Heni, Rama, dan Dicky mengikuti mobil kami yang bergerak pelan. Mereka aku beri aba-aba untuk memainkan tepuk drum band. Mereka tidak menolak. Liriknya yang membuat kami terkekeh-kekeh, “dang godokan, dang godokan, dang godokan-godokan-godokan” ini diucapkan oleh anak-anak putri dengan lantang dan semangat. Tidak ingin kalah, anak-anak putra pun menyahut, “lem karet, lem karet, lem karet lengket.” begitu mereka menyahut dengan penuh semangat dan lantang. Anak-anak putri dengan cepat menyahut, begitu seterusnya. Benar, kami terkekeh-kekeh melihatnya.
Lima anak yang imut-imut itu berhenti di atas beton menyerupai tempat duduk di atas jembatan yang ada di depan rumah pak Sri yang menjadi gerbang kediaman istimewa ini.
“Meskipun mereka agak nakal, ternyata kalo ditinggal mereka kehilangan juga.” Seloroh Pak Sri sambil tertawa. kami mengiyakan.
Kami saling melambaikan tangan. Dan kesedihan pun menyeruak di dada.. Tapi aku bersyukur bisa bertemu dengan kalian..

BY : CAHAYA

Post a Comment