Mungkin kita pernah mendengar hadits yang berbunyi:
كاد الفقر أن يكون كفرا
Hampir-hampir kefakiran menyebabkan kekufuran.
Menurut beberapa kitab takhrij, hadits tersebut di atas berstatus dhaif karena dalam sanadnya terdapat Yazid ar-Roqosyi yang dinilai oleh para ulama hadits sebagai perawi yang dhaif.
Dalam kitab Ihya ‘ulumuddin, karya al-Ghazali, juga dalam kitab al-‘Ilalu al-Mutanahiyatu bahwa hadits tersebut tidak shohih.
Pembaca, jika dipikir-pikir, pada umumnya katika kita fakir biasanya kita banyak menyebut nama Allah, banyak mengingat Allah dan banyak memohon ampun kepada Allah. Kita juga akan meminta kepada Allah dengan penuh harap agar kebutuhan kita tercukupi. Namun ketika kita menjadi kaya, apa yang terjadi? Pada umumnya kekhusyuan ibadahnya menjadi berkurang. Biasanya kita rajin berdoa, meminta kepada Allah dengan khusyu’, tapi karena sudah kaya dan merasa tercukupi, kita pun menjadi lupa siapa yang membuat kita tercukupi.
Dan biasanya, harta menyibukkan kita dari urusan-urusan ikhrawi. Paling tidak, materi yang bertambah banyak membuat pikiran kita banyak tertuju padanya. Bukankah pada umumnya demikian?!
Namun tulisan ini bukan berarti membuat kita tidak boleh kaya dan menikmati kekayaan. Sama sekali bukan begitu. Bahkan orang yang kaya namun hatinya tidak terpaut dengan kekayaannya, meskipun ia menikmati kekayaannya, bersenang-senang dengan kekayaannya, itu lebih baik daripada orang miskin yang pikirannya selalu tertuju pada dunia.
Inti dari pembahasan singkat ini ialah bahwa tidak benar jika kefakiran itu menyebabkan seseorang menjadi kufur. Kefakiran maupun kekayaan sama-sama berpotensi membuat orang menjadi kufur maupun syukur. Yang terpenting adalah hati kita tidak terpaut pada dunia sehingga melupakan Dzat Yang telah memberikannya kepada kita.
Ain NurWS
Gresik, 26 Januari 2012
Siang, jam 11.00
Sambil nunggu gabah (atau nunggu ayam?)
:)

Post a Comment