Minggu, 25 Maret 2012.
Sebuah Epilog Dari Dr. H. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil., saat menjelang penutupan kegiatan Seminar Nasional Pemikiran Islam Kontemporer di Gedung Teatrikal Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada hari Minggu, 25 Maret 2012.
Seperti biasa, saya selalu bersemangat mencatat apa saja yang beliau sampaikan. Menurut saya, apa yang disampaikan oleh Ustadz Fahmi Zarkasyi selalu menarik, memotivasi dan menginspirasi. Mungkin juga karena persepsi positif terhadap beliau yang selalu saya bangun dalam pikiran ini.
Dengan cekatan Ustadz Fahmi Zarkasyi maju ke depan dan mulai menyampaikan epilognya.
Ada satu kata yang sangat fundamental, yakni istilah world view. Tahun 2003, saya (Ust Fahmi) search di google tidak muncul kata “world view”. Identifikasi peradaban saat ini adalah world view.
Liberal adalah World view-nya Amerika.
Identitas kita apa? Apakah juga ikut-ikutan liberal?
Jika Anda setuju jika Nabi itu liberal (pada sesi diskusi ada peserta yang mengajukan statemen bahwa Nabi Muhammad itu orang yang paling Liberal, ketika ditanya dalilnya dia menjawab bahwa Nabi menyuruh umatnya untuk mengurus dunia mereka sendiri dengan bebas), Anda setuju nggak jika kita mengatakan bahwa George Bush itu salafi? Atau George Bush itu mu’tazilah? Jangan sembarangan berkata-kata.
Kita berbicara world view yang lebih epistemologis, bukan ideologis.
Hermeneutic is philosophy of interpretation.
Kalau ada buku “Who read Bible?”, lalu orang Islam yang bodoh ikut-ikutan menulis “Who read The Qur’an”. (?#@!!)
Kata “liberal” itu tidak datang dari Islam. Mana ada akar kata liberal dari bahasa Arab? hurriyah itu untuk hamba yang dikuasai seseorang. Dalam pemikiran tidak ada kata-kata hurriyah. Dalam Islam yang ada ‘ikhtiar”, makanya ada istikharah. Orang itu bebas, apabila dia tahu apa yang dia pilih. Coba bayangkan, jika anda disuruh menikah dengan ditawari 5 perempuan. Anda hanya diberi namanya, tidak diberi fotonya, tidak berkenalan terlebih dahulu tiba-tiba Anda disuruh memilih lalu esok hari menikah, apakah Anda mau?
Maka, yang bebas adalah jika anda tahu tentang sesuatu yang dipilih.
Anda bilang apa manfaat wacana seperti ini, karena hanya melibatkan kalangan tertentu? Anda salah. Wacana ini penting. Ini merupakan bagian dari pengetahuan, ilmu. Anda tahu, apa implikasinya liberalisasi syariah di kalangan masyarakat? Wacana pluralisme jika masuk dalam masyarakat menjadi Nikah beda agama, homoseks, lesbian, dan lain-lain, itu semua berangkat dari ilmu.
Aksi yang tanpa ilmu itu apa?
al-‘amalu bilaa ‘ilmin aktsara an yufsida min an yushliha, aksi yang tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
“Dari wacana menjadi aksi”, “dari ilmu menjadi aksi.”
Kita ini tidak eksklusif, tapi diskusi. Kita tidak alergi dengan hal-hal yang berbau Barat.
Anda calon pemimpin, jangan salah pikir. Jika salah pikir, anda salah kebijakan..!
Sekarang, bedanya apa seorang istri dengan wanita yang bekerja di lokalisasi? Aktifitas mereka sama kan? Tapi apakah maknanya di hadapan seorang suami sama? Bedanya apa pernikahan dengan perzinahan? Apa yang membedakan mereka? Konsep pernikahan itu sendiri. Ada dimensi spiritualitas di balik itu.
Ingat, world view itu kemudian membentuk framework.
Orang liberal itu anti otoritas, anti fatwa. Siapapun yang menolak fatwa, maka dia liberal.
Kita tidak menolak sepenuhnya ide liberal, Cuma kan kita mengkait-kaitkan dulu apakah sesuai dengan Qur’an atau tidak, apakah sesuai dengan hadits atau tidak.
Kita ini mengalami sekularisasi pendidikan Islam. Apa yang dihasilkan oleh hermeneutika? Sampai saat ini belum ada yang dihasilkan oleh hermeneutika itu..!
Istilah-istilah eksklusif, inklusif, pluralis, itu bukan dari Islam.
Ok lah, sekarang kita layani dulu mereka yang mengatakan bahwa Islam itu eksklusif. Saya katakan, Islam itu eksklusif, inklusif, dan pluralis, justru Barat itu yang eksklusif..! Eksklusif itu tidak ada kompromi dalam hal akidah. Islam inklusif, misalnya, orang non Islam itu bisa masuk surga, jika dia mati sebelum baligh. (seluruh ruangan penuh riuh suara tertawa para peserta).
Di Indonesia ini saking tolerannya orang Islam, pembangunan gereja saat ini percepatannya 10 kali lipat dibandingkan dengan pembangunan masjid. Orang istigghotsah barengan dengna natalan, kalau ini sih keterlaluan.
Sedangkan Barat? Barat itu eksklusif. Mana ada orang selain Kristen yang bisa menjalankan agama dengan tenang di Barat. Kalau ada orang yang agamanya bukan Kristen, tendang... Apa itu bukan eksklusif. Sangat berbeda dengan Indonesia yang natalan bisa bareng istighotsah. Coba di Barat, mau istighotsahan disana? Nggak mungkin. Untuk adzan saja susah sekali, bisa-bisa ditangkap. Kita saja yang harus tahu waktu-waktu shalat ketika tinggal disana. Itulah nikmatnya beragama di Indonesia. Saking nikmatnya sampai dimanfaatkan oleh orang non Islam.
Kalau anda lihat tadi para peserta itu agak arogan, kami memang mengajarkan untuk tidak minder. Kenapa? itu untuk menghadapi orang-orang orientalis. Saya pernah dinasihati oleh Prof. Naquib Alatas, “jangan minder dengan orientalis”. Orientalis itu hanya membidangi satu bidang saja, tapi tidak bisa mengkaitkan dengan bidang yang lain. Kalau mereka tahu tentang hadis, ya tahunya hadis itu saja. Kalau mereka tahu tentang sejarah, ya tahunya itu sejarah saja, tapi mereka tidak bisa mengkaitkan dengan ushul fiqih, ulumul qur’an, dll. Jadi jangan takut dengan orientalis.
Saya sering belajar dari mereka, mengambil ilmu mereka, tapi tidak mengambil asumsi-asumsinya. Ambil faktanya, buang asumsinya. Jika kita ambil 100% kita jadi tidak Islami lagi.
***
Perlu diketahui, dalam seminar ini pembicaranya ada 4:
1. Muhammad Cholid Thohiri: “Paradigma dan Metodologi Studi Islam di PTAIN”
2. Asep Setiawan: “Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya dalam Studi Al-Qur’an”
3. Muhammad Muzayin: “Konsep Tanzil Nasr Hamid Abu Zaid dan Implikasinya”
4. Dasran Efendi: “Gerakan Inkar sunnah, studi kritis sejarah dan konsepsinya”

Laporan : Ain NurWS

Post a Comment