24 November 2009 

Pada suatu malam seorang anak bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, si anak lalu pergi begitu saja meninggalkan rumah. Beberapa saat berjalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang untuk bekal perjalanannya.

Akhirnya lapar dan dahaga mulai ia rasakan. Kebetulan di sebuah jalan, ia menjumpai kedai penjual bakmi. Ia ingin sekali memesan barang semangkuk bakmi hangat, tetapi sadar tak memiliki uang, si anak hanya berdiri termangu.
Pemilik kedai melihat ada anak berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu bertanya, “Apakah engkau ingin memesan bakmi, Nak?”
“Iya, tetapi aku tidak membawa uang.” jawab anak tersebut dengan malu-malu.



“Tidak apa-apa, aku akan membuatkan mie untukmu, gratis…!” jawab pemilik kedai.
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi hangat. Segera anak tersebut makan beberapa suap. Rasa lapar di perutnya berangsur hilang. Terharu akan kebaikan hati pemilik kedai, air matanya mulai berlinang.

“Ada apa Nak, apa yang membuatmu menangis?” tanya si pemilik kedai.

“Aku hanya terharu.” jawab si anak sambil mengeringkan air matanya.

“Engkau orang yang baru kukenal, tetapi begitu baik padaku. Tidak seperti ibuku. Setelah bertengkar denganku, ia mengusirku dari rumah dan berkata padaku agar jangan kembali lagi. Sedangkan kau, begitu peduli denganku dibandingkan ibu kandungku sendiri.” katanya kepada pemilik kedai.

Mendengar perkataan anak tersebut, pemilik kedai menarik nafas panjang dan berkata “Mengapa kau berpikir seperti itu? Aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu dan berterimakasih sedemikian rupa. Padahal ibumu telah memasak makanan untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya, dan malah bertengkar dengannya. Aku yakin ibumu tidak sejahat yang kau kira seandainya engkau berbakti padanya.”

Anak tersebut sontak terhenyak mendengar hal itu. “Benar, untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kenapa kepada ibuku yang telah memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak pernah berterimakasih padanya. Malahan tidak pernah memperlihatkan kepedulianku padanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku justru memilih bertengkar dengannya.”

Anak itu segera menghabiskan bakminya, lalu menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumah. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata apa yang harus diucapkan kepada ibunya.
Begitu sampai di ambang pintu, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas mengkhawatirkan keadaan dirinya. Ketika bertemu dengan anaknya, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Anakku kau sudah pulang, maafkan ibu ya nak. Kamu cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang.” 

Pada saat itu anak tersebut tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.
Sahabat, barangkali saat ini kita tidak sedang membaca kisah orang lain. Mungkin “si anak” itu adalah diri kita sendiri. Sekali waktu, kita kadang akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang mereka berikan. Namun kepada orang tua kita, terkadang jarang rasa terimakasih kita berikan.

Sumber: http://nurulhayat.org/2009/11/24/kisah-semangkuk-bakmi/

Post a Comment