Selasa, 07 Agustus 2012

Tadi malam (senin, 06 Agustus 2012) saya mengikuti rapat evaluasi kegiatan ramadhan di Masjid An-Nashir. Tentu saja semua bidang yang terlibat dalam mensukseskan kegiatan ramadhan ini dibahas. Tidak terkecuali bidang pendidikan. Wah, merasa terlibat. Saya ikut memberi usul (mudah-mudahan bukan sebagai bagian dari keluhan karena mengajar tidak maksimal, huhu). Berawal dan terpancing dari usulan seorang peserta rapat yang bernama Wawan. Dia mengusulkan agar kegiatan pesantren kilat—yang menjadi agenda dari bidang pendidikan panitia ramadhan ini—dikonsep lebih baik lagi. Salah satunya dianggap perlu adanya kurikulum pesantren kilat yang meskipun hanya berjalan kurang lebih satu bulan ini. Selain itu, kalau bisa dibuatkan buku panduan materi yang harus diajarkan kepada santri pesantren kilat ini. Agar pengajar tidak kebingungan ketika mengajar apa saja yang harus diajarkan dan bagaimana cara menyampaikannya. Bahkan mungkin jika orang awam pun yang harus mengajar, mereka akan bisa.


Saya setuju dengan apa yang diutarakan oleh saudara Wawan dengan disusunnya kurikulum pesantren kilat masjid an-Nashir. Oleh karena itu saya juga mengusulkan agar panitia juga menyusun tujuan dan target yang diharapkan oleh panitia ramadhan dari kegiatan pesantren kilat ini. Kalau ada tujuan dan target, minimal kami—sebagai pengajar—akan terarah dan bisa mengira-ngira apa dan bagaimana menyampaikan materi.
Seorang peserta rapat yang bernama Pak Edi menanggapi usulan di atas. Menurut beliau, kegiatan pesantren kilat ini memang ala kadarnya. Tidak ada target yang muluk-muluk. Misalnya diajari gerakan shalat saja, tidak usah diajari doa dulu. Karena mereka masih banyak yang belum sekolah. Memang repot mengajar anak yang beragam seperti itu. But, kita harus ingat. Guru itu kan MANUSIA SETENGAH DEWA. 
Istilahnya, semuanya bisa. Disuruh menyanyi bisa, mendongeng bisa, menyulap bisa, de-el-el. Yupz, sulap. 
Kecil-kecilan saja sulapnya. Misalnya bisa membuat sendok menjadi bengkok.

Ha? Menyulap? Saya baru kepikiran kalau ustadz/ah juga harus bisa menyulap. Memang sih, ini cukup ampuh menarik perhatian para santri. Pasti pada melongo kalau ada yang sedang sulapan.  Huhu... saya belum bisa. Boro-boro bisa nyulap, nggak kepikiran tuh untuk bisa sulapan. Bahkan saya jadi kepikiran, apa hukum sulapan? Boleh nggak sih? Katanya sih boleh kalau hanya menggunakan ilmu kecepatan tangan. 
Kalau menggunakan sihir? Nah.. nah.. ini yang saya belum tahu.

Bagi para ustadz/ah yang bisa mengambil hati anak-anak, saya ucapkan selamat. Pertahankan prestasi anda. Yups, prestasi. Mengajar anak-anak itu tidak semudah mengajar orang dewasa. Mengajar anak yang belum menyentuh bangku sekolah lebih sulit daripada mengajar anak SD.

So, Guru TPA itu tidak bisa diremehkan. Merekalah yang menjadi pendamping awal—setelah orang tua—dari seorang anak manusia menjadi manusia yang baik. Guru TPA sama hebatnya dengan dosen di perguruan tinggi. Guru TPA sama hebatnya dengan guru-guru di tingkat perguruan yang lebih tinggi. Salut kepada manusia-manusia setengah dewa. Selamat membentuk menusia-manusia generasi Rabbani. Bismillah, dengan pertolongan Allah insyaallah kita bisa...
J

Post a Comment