Di Tulis oleh Ain Nur Windasari | 19 Maret 2013
Judul: Sama Tapi Tidak Sama
Selasa, 19 Maret 2013. Sudah lama. Sangat lama bahkan, saya tidak menulis di blog. Bahkan lebih suka copas dengan menyertakan sumbernya. Alasan yang sangat klasik, malas dan tidak ada inspirasi. Nah, kali ini saya ada inspirasi untuk nulis di blog saya tercinta ini. Berawal dari kuliah ‘Hermeneutika al-Qur’an’ bersama dosen kami di kelas tafsir hadis kemarin pagi (senin, 18 Maret 2013). Dosen kami ini termasuk yang tidak menolak hermeneutik untuk diterapkan dalam menafsirkan al-Qur’an. Beliau sih mengeidentifikasi diri sebagai kelompok rekonstruksionis. Alasannya sederhana, karena hermeneutik saat ini merupakan sebuah kebutuhan. Tidak ada yang bertentangan dari hermeneutik ketika diterapkan dalam al-Qur’an kalau kita mau mencari kesamaan-kesamaan metode tafsir para ulama terdahulu dengan hermeneutik.

Seperti yang banyak dipahami oleh kalangan umum bahwa hermeneutik adalah ilmu atau seni memahami teks. Oleh karenanya, secara umum, hermeneutik memiliki tiga unsur pokok atau tiga elemen yang tidak dapat terpisah dalam proses pemahaman teks, yakni author, teks dan reader. Ketiga unsur ini saling terkait dan tidak dapat terpisah.

Yang saya tangkap dari respon teman-teman saya di kelas, ada sebagian yang setuju hermeneutik diterapkan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan sebagian yang lain tidak setuju. Yang setuju karena menilai hermeneutik memang metode yang cukup bagus untuk memahami al-Qur’an karena kita memahami tidak hanya tekstual, melainkan kita bisa lebih kontekstual, sehingga pesan-pesan al-Qur’an yang berasal dari Tuhan mampu ditangkap oleh manusia dimana dan kapanpun (memangnya tafsir tidak bisa begitu?). Adapun yang tidak terima hermeneutik menduduki posisi tafsir al-Qur’an selama ini, argumennya adalah bahwa hermeneutik mengandung nilai-nilai relativitas yang bisa membuat para pembaca meragukan apa yang selama ini sudah diyakini dan mapan. Memang, perasaan ragu terhadap sesuatu merupakan langkah awal untuk berfilsafat. Hal ini tidak mengherankan karena hermeneutik sendiri sebenarnya merupakan filsafat.

Dosen saya yang mengagumi hermeneutik berkali-kali mengatakan bahwa dalam hermeneutik terdapat banyak kesamaan dengan metode tafsir yang selama ini dipelajari umat Islam. Maka apa salahnya umat Islam mengambil konsep hermeneutik untuk memahami kitab sucinya? Toh unsur-unsur hermeneutik tidak bertentangan dengan al-Qur’an? Sama-sama memahami teks?

Saya sih gampang-gampang aja menganalogikannya. Coba bayangkan, ada dua orang laki-laki, yang satu muslim yang taat dan yang satu adalah orientalis. Orang yang muslim ini bisa baca qur’an. Orientalis ini juga bisa baca qur’an. Sama-sama fasihnya. Orang muslim ini hafal beberapa jus al-Qur’an. Orientalis ini juga hafal beberapa jus al-Qur’an, bahkan mungkin lebih banyak hafalannya daripada orang muslim ini. Cuma yang jelas-jelas beda dari kedua orang ini adalah imannya. Orang muslim ini benar-benar beriman kepada Allah, agamanya Islam, meyakini Allah, meyakini al-Qur’an, meyakini Nabi Muhammad, meyakini Malaikat, meyakini kitab-kitab Allah, meyakini qadha’ dan qadar. Sementara si orientalis, alih-alih meyakini rukun iman tersebut, dia mah kerjaannya mencari pembenaran-pembenaran untuk menolak kebenaran agama Islam, menolak rukun iman. Jika laki-laki muslim tadi bisa dijadikan imam shalat, bisa kah / sah kah orientalis ini menjadi imam shalat? Jelas tidak.

Nah... nah.. nah.. semoga pembaca sekalian faham dengan apa yang saya sampaikan di blog ini. Pada intinya dua hal yang mempunyai banyak unsur sama belum tentu bisa difungsikan dan diposisikan secara sama. SAMA TAPI TIDAK SAMA. Banyak kesamaan tapi tidak bisa disamakan. Metode tafsir al-Qur’an para ulama dan hermeneutika mungkin sama-sama cara untuk memahami teks, tapi keduanya benar-benar berbeda dari kemunculannya, tujuan dibuatnya, bahkan keyakinan yang membentuk keduanya. Tafsir al-Qur’an lahir dari rahim para ulama Islam yang meyakini kebenaran al-Qur’an, tujuannya agar manusia semakin yakin dengan al-Qur’an. Sedangkan hermeneutika sudah banyak membuat manusia berpaling dari keyakinan yang sudah tsabit.

Lagi pula ya, kalau pun hermeneutika itu sudah berubah bentuk, sudah berubah unsur maupun strukturnya, sampai mirip sekali dengan tafsir, dan bahkan memang strukur dan fungsinya sudah seperti tafsir, apa ya itu masih disebut hermeneutik? Sebut saja tafsir kalau memang hakikatnya tafsir. Kenapa lebih bangga dengan istilah-istilah yang baru? Ada apa dengan tafsir?

#Kebingungan orang yang belum benar-benar paham dengan hermeneutik dan para pengaumnya...

Ada yang bisa memberi masukan???

_Ain Nur WS_

3 Komentar

  1. jertitan penolak hermeneutik,, hehehe,,
    seiya sekata,,,
    mungkin kalo hermeneutik lebih keren kali yaa,,, sdngkan tafsir kan kesannya dah tua banget,,,so,, bagi yg suka daun muda,, hermeneutik ini sangat membantu,,,
    ~komen ga nyambung~,,
    wkwkwkwk

    BalasHapus
  2. sebenarnya apapun metodenya asalkan hasilnya baik ya baik saja. Tujuannnya kan untuk mendapatkan pemahaman yg lebih jelas dari al-Qur'an,
    jadi bagi penganjur hermenutika, sudah bukan waktunya untuk koar-koar nyuruh orang pake hermeneutik, ya buktikan dong, tulis tafsir... ntar kita lihat apa yang ente hasilkan, jika hasilnya toh tidak jauh-jauh dari produk tafsir klasik, yahh apa bedanya?? jika ternyata hasilnya menghasilkan pendapat2 gharib ; menghalalkan yg haram mengharamkan yg halal... apalagi sekedar pembenaran untuk menerima nilai-nilai budaya Barat yg kebetulan lagi maju.. such as HAM, Gender equalitiy, and the gang yahh.... ketahuan banget ente budanya siapa ahaha

    klo cuma satu dua bab buku yaahhh.. mending ngubur diri sambil peluk tafsirnya ar-Razi ahaha..

    BalasHapus
  3. Isinya bagus plus
    BLOGNYA KEREN (y)

    BalasHapus

Posting Komentar