Hermeneutika menjadi sebuah diskursus yang menarik bagi umat
Islam—meski kebanyakan masih di perguruan tinggi—terkait dengan pembacaan teks
al-Qur’an. Di antara umat Islam ada sebagian yang mendukung adanya hermeneutika
al-Qur’an sementara sebagian yang lain menolaknya. Berbagai faktor yang
mendorong masing-masing pihak dalam menyikapi hermeneutika ini sangat beragam.[1]
Sebagai umat Islam kita dituntut untuk kritis, tidak hanya
menerima atau menolak sebuah konsep yang baru saja ditawarkan. Alangkah lebih
baiknya jika umat Islam menelisik lebih mendalam tentang makna dan hakikat
hermeneutika itu sendiri sehingga tidak salah dalam bersikap.
Di antara upaya
untuk memahami hermeneutika ialah mengetahui asal usul maupun pencetus ide
mengenai Hermeneutika. Salah satu tokoh yang cukup terkenal sebagai penggagas
ide hermeneutika ialah Hans George Gadamer.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pikiran pokok Hans
George Gadamer.
PEMBAHASAN
1.
BIOGRAFI HANS GEORGE GADAMER
Dia dilahirkan di kota Breslau[2] pada tanggal 11 Februari 1900. Ayahnya seorang guru besar kimia dan dianggap sebagai seorang ahli yang
terpandang di bidangnya. Gadamer belajar filsafat di Universitas Breslau pada
Nikolai Hartmann, Martin Heidegger, Paul Natorp, juga Rudolf Bultmann yang
dikenal sebagai pemikir berpengaruh dalam bidang hermeneutika.
Pada tahun 1922, dia telah meraih gelar doktor filsafat, dengan disertasi tentang Plato, di bawah bimbingan Paul Natorp. Meski
sudah meraih gelar doktor, dia tetap mengikuti kuliah Heidegger di Freiburg,
karena sangat mengagumi pemikiran Heidegger, sampai Heidegger diangkat guru
besar di Marburg.[3]
Dalam periode nasional-sosialisme, Gadamer tidak
mau melibatkan diri dalam politik. Dan karena banyak guru besar yang
diberhentikan oleh rezim nasional-sosialisme. di universitas-universitas Jerman,
maka pada tahun 1933, dia disuruh mengajar di universitas Kiel untuk menggantikan dosen yang dipecat. pada tahun 1937, dia
sudah diangkat sebagai Guru Besar di Marburg. Sedangkan pada tahun 1939, dia
dipindah ke Universitas Leipzig, Jerman Timur, sebagai Guru Besar penuh dan
pada tahun 1947 pindah ke Frankfurt am main. Dan mulai tahun 1949, ia mengajar di
Heidelberg sampai dia pensiun pada tahun 1968. Sesudah pensiun, dia sering
memenuhi undangan untuk mengajar di Amerika Serikat dan memberi ceramah di Jerman
atau tempat lain. Pada usia yang lanjut, dia masih sering ikut dalam diskusi
filosofis, hingga dia termasuk ahli filsafat yang populer di Jerman. Sebelum pensiun, dia menerbitkan buku
berjudul Truth aand Method (edisi Inggris), yang membuatnya mencapai
puncak karir. Gagasan Gadamer sangat berpengaruh pada ilmu-ilmu humaniora.[4]
Dengan buku Truth and Method sebagai karya
masterpiece-nya, membuat Gadamer sebagai ahli filsafat terkenal di bidang
hermeneutika filsafat. Penerbitan buku tersebut bisa dinilai sebagai kejadian
penting, setidaknya dalam bidang hermeneutika, dalam sejarah filsafat Jerman
abad ke-20. Pada edisi terbitan 1965, ada tambahan dalam pendahuluan, dimana
Gadamer menjelaskan maksudnya, sekaligus menjawab keberatan-keberatan yang dilontarkan
oleh pemikir-pemikir mitranya.[5]
2.
BEBERAPA PEMIKIRAN HERMENEUTIKA HANS-GEORG
GADAMER
Menurut K. Bertens, dalam filsafat dewasa ini, kata hermeneutika sering digunakan dalam
arti yang luar sekali dan juga menyangkut hampir seluruh tema filosofis
tradisional, sejauh berkaitan dengan masalah bahasa. Intinya filsafat ini
berefleksi tentang mengerti (verstehen).
Dalam hal ini, Gadamer melanjutkan pendapat Heidegger. Mengerti oleh
Heidegger dalam buku „Ada dan Waktu’, harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental
dalam keberadaan manusia.
Gadamer menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran.
Maksudnya, agar seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai
pengertian, haruslah bertolak dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu
teks, sebelum itu ia telah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Tanpa hal
tersebut, tidak mungkin seseorang memperoleh pengertian tersebut, tidak mungkin
seseorang memperoleh pengertian tentang teks tersebut. Jadi dengan membaca teks tersebut, prapengertian
terwujud dalam pengertian yang sungguh-sungguh. Proses itulah yang
disebut sebagai sebagai lingkaran hermeneutika oleh Heidegger dan Gadamer.
Dalam pada itu, meneruskan pemikiran Heidegger, Gadamer menjelaskan problema bahasa dari
tinjauan ontologis. Karena menurut Gadamer, bahasa senantiasa memiliki
suatu ciri yang mengikat anggota komunitas dalam rentang awktu yang menjadi
basis tradisi. Hal ini Gadamer tidak
setuju terhadap pernyataan, bahwa bahasa itu sebatas sistem tanda dan bentuk
simbol. Karena banyak problem bahasa tidak dapat diatasi, bila tetap pada
pendirian, bahwa bahasa sebatas hanya merupakan alat komunikasi dalam
pergaulan. Hal itu bukanlah makna terdalam bahasa.
Gadamer menilai bahasa sebagai perantaraan pemahaman. Sedangkan proses pemahaman itu terjadi dalam peleburan horison (fusion
of horizon) antara subjek pemahaman dan objek atau realitas yang idpahami.
Dalam filsafat hermeneutika, justru kebenaran dicapai melalui keterlibatan dan
dialog serta penggabungan visi secara kreatif dan intens dengan ibjek yang
dikaji. Lebih tepatnya, memahami adalah fusi horison, dimana horison penafsir
tergabung dengan horison pengarang. Bagi Gadamer, menurut Richard King, makna
itu jelas tidak dapat ditemukan dalam teks, akan tetapi justru dinegosiasikan
antara teks dengan penafsir. Jadi, memahami adalah peristiwa antara penafsir
dan teks yang saling menentukan.
Oleh karena itu, tradisi sebagai faktor yang mengondisikan
dan pembatas yang tegas dalam menafsirkan teks. Seseorang tidak bisa
menghindari tradisi, karena dalam tradisi ada konsep penafsiran, sebagai sebuah
dialog antara penafsir dan teks. Dalam ungkapan Komaruddin Hidayat, mengutip
Gadamer, bahwa dialog yang produktif akan terjadi saat formula-formula
subjek-objek sudah sirna lantas tergantikan oleh kami.[6]
Gadamer ingin menekankan pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Karena baginya, kebenaran itu menerangi metode
individual, sementara metode justru merintangi atau menghalangi kebenaran.
Kebenaran yang ingin diperoleh melalui dialektika, bukan lewat metode dan
teori. Karena di dalam proses dialektika, pertanyaan secara bebas lebih banyak
peluangnya untuk diajukan daripada dalam proses metodis. Ada juga hal lain, karena metode
bagi Gadamer adalah struktur yang dapat membekukan dan sekaligus memanipulasi prosedur
tanya jawab, sedangkan dialektika tidaklah demikian.
Bagi Gadamer, dalam upaya merealisasikan obsesinya tentang kebenaran, makakebenaran tersebut dipahami sebagai ketersingkapan, ketidaktersembunyian atau „adatelanjang‟. Menurutnya, kebenaran tersebut harus menyandarkan pada tradisi, bukan pada metode dan
teori. Gadamer sangat menekankan tradisi dan prasangka dalam memahamisesuatu, karena keduanya merefleksikan kondisi historis dan kultural umat manusia. Hal inididasarkan
pada manusia itu bisa memahami, karena memiliki tradisi. Sementara tradisi tersebut merupakan bagian pengalaman. Oleh sebab itu, tidak akan ada pengalaman yang berarti tanpa
menyandarkan pada tradisi. Atau dengan ungkapan lain, pemahaman terhadapkebenaran, supaya menjadi entitas yang tidak tersembunyi, hanya dimungkinkan bila berpijakpada tradisi.
Kejadian sejarah sebagai suatu peristiwa, pasti tidak akan mungkin terulang lagi secarapersis. Sedangkan teks sejarah adalah dokumentasi penafsiran dan
rekontruksi peristiwayang ditulis pengarang. Oleh karena itu, pasti terdapat jurang tabir antara masa lalu dan kini.Adapun makna yang terkandung itulah yang menghubungkan sejarah dan kehidupan kita kini.Menurut Gadamer, yang dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa sejarah mempunyai makna,bila dipertemukan dengan keprihatinan kini, untuk membangun harapan pada masa depan.Lebih jauh menurut Komaruddin Hidayat, statemen Gadamer sejalan dengan al-Qur’an, bahwa kebenaran (truth) itu
diraih dari zaman lampau berdasarkan tradisi kenabian, laludiinterpretasikan dan diaktualisasikan sekarang dan di sini (dunia), dengan tetap commited sertadiarahkan ke masa depan (teleologis) dan bahkan melampaui kehidupan sesudah meninggal(eskatologis). Jadi bukan pengulangan kronologi kejadian sejarah, tapi justru nilai i`tibar-nya.
Problematika dasar hermeneutika adalah problematika memahami teks masa lalu.Karena teks masa lalu itu tentu saja merupakan sesuatu yang asing bagi pembaca yang tidak.dilahirkan oleh penggalan periode masa lalu itu. Baik menurut Schleiermacher maupunDilthey, memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Maksudnya memahami.suatu teks berarti menemukan arti teks tersebut. Artinya, menampilkan apa yang dinginkan oleh pengarang tersebut, berupa
pikiran, perasaan, dan maksudnya. Oleh karena itu, seorang interpreter wajib
memiliki ilmu yang dalam tentang sejarah, di samping bakat psikologisnya.
Menurut Gadamer, pandangan hermeneutika reproduktif Schleiermacher dan Dilthey inisebagai pandangan romantis, yang menandai pandangan zaman romantik. Karena mencapaiarti yang benar atas suatu teks adalah kembali kepada upaya yang dihayati dan akan dikatakanoleh pengarang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa antara pengarang teks dan penafsir hidupdalam waktu yang berbeda, bahkan mungkin tempat dan nuansa historisnya. Tawaransolusinya adalah penafsir harus mencoba mengerti pengarang. Atau interpretasi teks ituinterpretasi psikologis. Penafsir harus berusaha menyelami dan seakan-akan hidup bersama
pengarang. jika sudah merasa satu zaman da satu
tempat, maka diharapkan kesulitan penafsir terhadap pengarang dan
teksnya akan berkurang.
Terhadap 2 (dua) tawaran solusi Schleiermacher dan Dilthey di atas, Gadamer tidakmenutup mata atas manfaat keberhasilan keduanya. Meski begitu, dia menilai kelemahantawaran solusi tadi. Pertama menyangkut pendapat bahwa hermeneutika bertugas untukmenemukan arti asli suatu teks. Bagi Gadamer, interpretasi tidak sama dengan mengambilsuatu teks, dan mencari arti yang dimaksud pengarang. Sebab arti suatu teks tetap terbukadan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tadi. Karenanya, interpretasi bukan hanyabersifat reproduktif semata, namun juga produktif. Artinya, interpretasi dapat memperkayasuatu teks. Kedua, mengenai pendapat hermeneutika romantis tentang waktu. Karena sebagaiinterpreter tidak dapat melepaskan diri begitu saja dari situasi historis di mana dan kapaninterpreter hidup. Sulit rasanya menjembatani jurang antara waktu interpreter denga pengarang. Jadi arti suatu teks tidak sebatas pada masa lampau saat teks ditulis, tapi jugamemiliki keterbukaan terhadap masa depan. Oleh karena itu, tugas interpretasi suatu teks,tidak pernah selesai dan berhenti. Tiap zaman dan tempat harus ada usaha interpretasinyasendiri.
Fazlur Rahman memberikan istilah polarisasi tersebut dengan aliran objektivitas danaliran subjektivitas.[7] Representasi polarisasi kedua tradisi tersebut adalah polemik antaraEmilio Betti dan H. G. Gadamer. Betti memihak pada tradisi objektifitas, sementaraGadamer memihak pada tradisi subjektivitas. Betti bertujuan meletakkan suatu teori umumtentang bagaimana objektivasi pengalaman manusia dapat ditafsirkan. Dia menekankanotonomi objek interpretasi dan mungkinnya objektifitas historis dalam membuat suatuinterpretasi yang valid. Sedangkan Gadamer mengarahkan pemikirannya pada pertanyaan yang lebih filosofis tentang hakikat memahami itu sendiri. Menurut Gadamer,berbicara tentang penafsiran objektif yang valid adalah sesuatu yang mustahil.
Aliran pertama, oleh Josef Bleicher dikategorikan ke dalam teori hermeneutik(hermeneutical theory) karena memfokuskan diri pada problematika teori interpretasi umumsebagai metodologi bagi ilmu humaniora (sosial). Sedangkan aliran kedua, dikategorikan kedalam filsafat hermeneutika (hermeneutics philosophy), yang memiliki konsentrasi pada statusontologis pemahaman dan interpretasi. Selain itu, muncul aliran lain yang berada di luarkedua aliran di atas, yakni hermeneutika kritis (critical hermeneutics), yang membidik padapenyingkapan tabir yang menyebabkan terjadinya bias dalam interpretasi. Aliran ini dikemukakan oleh Jurgen
Habermas yang yang kemudian memunculkan perdebatan antara dirinya
dengan Gadamer. Habermas menentang asumsi idealis yang didasarkan pada teorihermeneutika maupun filsafat hermeneutika. Baginya, kedua tradisi hermeneutika di atasmengabaikan faktor-faktor ekstra-linguistik yang juga menentukan konteks pemikiran dan aksi, yakni karya dan dominasi. Habermas, bersama Karl Otto Apel, membangun
suatuhermeneutika kritis dengan memadukan antara pendekatan metodis dan pendekatan objektifdalam rangka mencapai pengetahuan yang relevan secara praksis.
Dalam wacana postmodernisme yang dipelopori oleh, antara lain, Jaques
Derrida.dan Michel Foucoult, tampaknya membawa hermeneutika ke dalam diskursus yang lebihbernuansa dekonstruktif. Meskipun mereka tidak berbicara secara spesifik mengenaihermeneutika, tetapi bagaimana pun juga mereka secara pasti memasuki wilayah ini.
Verstehen adalah pemahaman subjektif yang dipakai sebagai metode untukmemperoleh pemahaman yang valid mengenai arti subjektif tindakan sosial.
Metode ini muncul dari kepentingan praktis manusia untuk mengomunikasikan maksud masing-masing, yang dalam kehidupan
sosial menjelma menjadi pikiran objektif, misalnya agama, hukum,
negara, adat, dan lain sebagainya. Untuk menemukan makna objektif ini harus dilakukandengan mereproduksi atau merekonstruksi makna, sebagaimana dihayati penciptanya.Misalnya, memahami sebuah teks, peneliti harus melukiskan seutuhnya maksud pengarang,seaakan peneliti mengalami peristiwa historis seperti yang dialami pengarang. Hal itudimungkinkan oleh apa yang disebut Dilthey sebagai historical understanding, atau menurutPalmer sebagai historical conciousness.[8]
kesadaran sejarah ini mampu mengatasi jarak budaya lewat kemampuan reproduksi.
Dengan kata lain, verstehen adalah kemampuan kita untukmasuk ke dalam hidup mental orang lain atas dasar tanda-tanda yang diberikan kepada kita.
Karenanya, tugas hermeneutika adalah mereproduksi maksud pengarang dengan suatuprapengandaian yang disebut transposisi historis (melepaskan diri dari konteks historis kitasendiri dan masuk ke dalam konteks kehidupan orang lain). Dengan prapengandaian ini,Dilthey mengklaim objektifitas ilmu pengetahuan sosial dapat terjamin, terutama ilmu sejarah.
Usahanya ini merupakan kritik terhadap konsepsi Scheiermacher yang mengartikaninterpretasi teks adalah interpretasi psikologis. Karena memahami sebuah teks, bukanmemahami keadaan psikis pengarang, melainkan makna dari peristiwa-peristiwayang mengelilingi pengarang.
Ilmu pengetahuan yang satumengritik teori yang lain. Begitu pun dengan metode hermeneutika yang ditawarkan Dilthey,meskipun iaberhasil memberi metode khusus bagi ilmu.ilmu sosial dengan konsepreproduksi makna, namun menurut Gadamer belum terbebas dari cacat saintisme. Gadamermempersoalkan prapengandaian Dilthey sebagai hal tidak memberi peluang terhadap maknateks ke masa depan (makna teks tidak terbatas hanya pada maksud pengarang). Baginya,interpretasi tidak hanya bersifat reproduktif, melainkan juga produktif (melampaui maksudpengarang dan sekaligus bermakna bagi penafsir). Gadamer sendiri adalah seorang yang antimetode. Pemahaman bersifat meta-metodis, yaitu pemahaman tidak dihasilkan lewat metode,tetapi lewat dialektika.
V. PENUTUP
Hermeneutika sebagai metode dalam memahami teks sudah lama digunakan.
Namunhermeneutika dalam filsafat, baru diungkap oleh Friedrich Schleiermacher, yang diteruskan
oleh Wilhelm Dilthey, Hans Georg Gadamer dan lain-lain. Pemahaman suatu teks cenderungtidak dapat menghadirkan semua gagasan dan keadaan. Penyempitan makna dan nuansa, jelassangat sulit untuk dihindari. Begitu pula pembaca teks wajib menyadari, bahwa suatu tekspasti tak dapat membawakan suatu realitas ataupun konsepsi secara utuh.
Uraian ini akan diakhiri dengan penilaian Stephen C. Pepper yang menyatakanbahwa metode filsafat bukanlah metode ketergantungan atau kepastian, melainkan lebihmerupakan metode hipotesis, tepatnya hipotesis dunia, yaitu hipotesis yang sama sekali tidakmempunyai batas dan yang memperhitungkan semua kenyataan atau evidensi.
DAFTAR PUSTAKA
Fazlur rahman, Islam
dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina,
Jakarta, 1996.
Richard E.
Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005.
Santoso Irfan, Hermeneutika
Gadamer: Tawaran Filosofis Membaca Kitab Suci, STAIN Purwokerto.
[1] Makalah
Santoso Irfan, Hermeneutika Gadamer: Tawaran Filosofis Membaca Kitab Suci, STAIN
Purwokerto, hlm. 1.
[2] Dikutip oleh
Irfan Santoso dalam makalahnya “Hermeneutika Gadamer: Tawaran Filosofis
Membaca Kitab Suci”, dari K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer:
Inggris-Jerman.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina,
Jakarta, 1996, hlm. 13-14.
[7] Fazlur rahman,
Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985, hlm.
9-13.
[8] Richard E.
Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm. 15-16.