Rabu, 05 Maret 2014


Sabtu yang lalu, tepatnya tanggal 1 Maret 2014, aku diminta ngisi sekolah Immawati di PC IMM AR Fachruddin Yogyakarta. Temanya cukup keren menurutku, “Fikih Wanita di wilayah publik perspektif Muhammadiyah”. Apa aku nggak ketar ketir denger judul itu? Aku aja sebagai kader Muhammadiyah merasa belum paham betul gimana sih kepemimpinan wanita dalam perspektif Muhammadiyah.
Ya, setauku aja, menurut penuturan dosenku yang jadi ketua majelis tarjih di Muhammadiyah (majelis tarjih Muhammadiyah itu ibarat MUI di Indonesia), Prof Syamsul Anwar, kata beliau perempuan itu ya boleh menjadi presiden. Dengan pernyataan ini saja aku sudah bisa menyimpulkan bahwa tiada batas buat kepemimpinan wanita di wilayah publik menurut Muhammadiyah.
Ya aku taunya sebatas itu. Kalau disuruh jelasin dengan segala argumentasinya, aku harus belajar dulu. Benar-benar aku merasa nggak pede ketika diminta memaparkan dalil maupun argumen terkait kepemimpinan wanita dalam Islam.
Langkah pertama, aku harus meniatkan semua ini untuk kebaikan. Aku yakin dengan berbagi ilmu, justru ilmuku akan bertambah. Dan aku yakin jika aku melakukan kebaikan pasti akan berbuah kebaikan pada saatnya. Dan disinilah aku merasa tertantang. Ok, aku berani mengiyakan tawaran untuk mengisi kajian sekolah immawati. Dan kabarnya, namaku sudah direkemondasikan oleh temanku yang bernama Ayub untuk mengisi kajian-kajian keperempuanan di IPM kota Jogja. Ya nggak apa-apa sih, cuman kog aku merasa belum siap (kalau merasa belum siap terus kapan siapnya ain??).
Aku langsung baca buku Adabul mar’ah fil Islam, terbitan majelis tarjih dan tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menurutku buku ini akan cukup mewakili pandangan Muhammadiyah tentang kepemimpinan wanita dalam Islam. Sekalian promosi, dan yang terpenting aku jadi belajar tentang keperempuanan. Masa perempuan nggak tahu tentang dirinya sendiri sih. Mungkin juga kalau aku nggak diminta untuk ngisi kajian ini, aku juga nggak akan belajar buku adabul mar’ah fil islam ini. Padahal buku ini sudah aku beli buat menumpas rasa keingintahuanku tentang isu pengarusutamaan gender dalam buku ini, ada nggak?.
Singkat cerita, dalam kajian tersebut aku menyampaikan ayat al-Qur’an sebagaimana yang dikutip dalam buku adabul mar’ah fil Islam, yakni QS. At-Taubah ayat 71.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (71)
Dan orang-orang mukmin laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan disayangi oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha mulia dan bijaksana.
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa yang mempunyai tugas amar makruf nahi munkar adalah tugas setiap mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Tentu saja Amar makruf nahi munkar juga bisa dilakukan dalam dunia publik. Dengan demikian, perempuan jelas memiliki peran dalam dunia publik. Hanya saja, ada beberapa perbedaan yang ada pada perempuan dan laki-laki baik dari segi fisik maupun psikologis. Dari segi fisik, umunya perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Sedangkan dalam segi psikis, perempuan berwatak lebih halus, sedangkan laki-laki kasar. Laki-laki biasanya lebih tegas daripada perempuan.
Meski demikian, tidak serta merta perempuan bisa berkiprah dengan leluasa di dunia publik. Perempuan mempunyai tugas mulia dalam keluarga yang harus menjadi prioritasnya. Perempuan adalah ibu dari anak-anak dan mempunyai tugas melayani suami. Keridhoan suami kepada istri untuk berkiprah di publik menjadi hal yang sangat penting bahkan terutama dalam pengambilan keputusan. Hal ini karena suami adalah orang yang paling berhak dimintai pendapat dalam keluarga. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa seandainya ada orang yang patut disujudi setelah Allah, maka akan diperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.
So, komunikasi menjadi sangat penting dalam keluarga.
Lalu gimana dengan hadis yang menyatakan bahwa tidak akan beruntung/sukses suatu negara yang dipimpin oleh perempuan?. Hadis ini muncul karena pada saat itu, ada suatu negara yang dipimpin oleh perempuan yang memang tidak berkompeten dalam hal leadership. Secara, negara tersebut menjadi tidak maju, bahkan mengalami kemunduran.
Kesimpulannya, berarti kepemimpinan perempuan dalam publik itu boleh-boleh saja. Namun dalam keluarga kepemimpinan masih tetap di tangan laki-laki alias suami alias ayah. Dalilnya :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Laki-laki adalah penanggung jawab / pemimpin / pelindung atas perempuan, karena apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain....” (QS. An-Nisa ayat 34)
Sekian. Wallahu a’lam bish showab.
By : Ain Nurwindasari