Tulisan ini
masih dari hasil diskusi di kelas, tentunya dari penjelasan ustadz Radwan Jamal
Al-Atrasy. Tentang doa yang selalu kita ucap setiap harinya. Doa yang paling
awal di dalam Al-Qur’an. Doa yang sangat-sangat kita butuh untuk kita ucapkan,
yakni doa:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾
“Tunjukkanlah
kepada kami jalan yang lurus” (Q.S. Al-Fatihah:6)
Ustadz bercerita
mengenai ayat ini. Ketika beliau tiba-tiba diminta untuk memberi taushiyah pada
sebuah acara di gedung Azman Hasyim Complex IIUM, beliau dapat inspirasi dari
ayat ini. Beliau menjabarkan ayat ini bagaimana seharusnya kita sebagai seorang
muslim menjadikan ayat ini sebagai inspirasi. Jadi menurut beliau, setiap orang
yang berjalan sudah Allah beri jalan yang bisa dilalui. Seorang pelajar, sudah
ada jalannya, dan ketika ia benar-benar melewati jalan itu dengan benar bukan
jalan yang lain maka ia akan berhasil. Begitu juga orang yang sedang berumah
tangga, sudah Allah sediakan jalannya yang ketika dilewati dengan benar maka
rumah tangga itu akan bahagia dan orang yang menjalaninya akan menjadi
sebahagia bahagianya manusia. Begitu juga jalan-jalan yang lain.
Setiap manusia
dengan posisi mereka masing-masing diberi jalan. Tapi ya itu, apakah mereka
sudah berada di jalan yang lurus atau belum. Seharusnya setiap kita
diperintahkan untuk berdoa agar diberi Allah petunjuk agar apa yang kita jalani
dituntun oleh Allah, tidak jalan sendiri, agar tidak tersesat. Namun apalah
daya, manusia sering sombong. Merasa bisa. Padahal Allah lah Maha pemberi
petunjuk.
Sudahkah kita
ketika belajar, kita minta agar Allah beri petunjuk? Sudahkah kita ketika
membina rumah tangga berdoa agar Allah bombing hati kita masing-masing agar
rumah tangga sesuai dengan ridha-Nya? Sudahkah kita dalam berteman minta Allah
beri petunjuk agar pertemanan kita dalam koridor yang benar, agar tidak saling
menyakiti satu sama lain, agar bisa memperlakukan teman dengan sebaik-baik
perlakuan? Mungkin selama ini kita lupa. Kita hanya bertanya pada diri sendiri
ketika ada masalah, “kenapa ya selalu ada masalah dengan teman? Kenapa ada
masalah dengan pasangan hidup? Kenapa tugas terasa sulit?” Dan kenapa-kenapa
yang lain. Sementara kita lupa untuk meminta petunjuk kepada Allah.
Ya Allah…
Maa Syaa
Allah… dari sini saya merenung. Saya refleksi pada diri saya sendiri. Allah,
selama ini saya sebagai pelajar, mungkin saya tidak selalu di jalan yang lurus.
Mungkin niat, mungkin penggunaan waktu, dan mungkin-mungkin yang lain. Allah…
sebagai istri saya mungkin banyak nggak baiknya kepada suami saya. Saya mungkin
banyak dosanya kepada suami, karena tidak meminta petunjuk-Mu.
Dari sini
silakan para pembaca sekalian refleksi kemudian berdoa, termasuk dan terutama
adalah saya sendiri:
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… dalam urusan rumah tangga
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… dalam urusan belajar
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… dalam urusan pertemanan
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… dalam menjemput rezeki-Mu
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… dalam mendidik anak dan murid
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… bertetangga
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… dalam memimpin umat
Ihdinaash
shiraathal mustaqiim… (silakan diucapkan sesuai yang pembaca inginkan)
Saya teringat
suatu ketika kak hani (seorang security IIUM) mengajak diskusi tentang shirotol
mustaqim (jalan yang lurus). Beliau katakan “apa itu jalan yang lurus?”, “saya
sering tanyakan ini pada kawan-kawan saya, pada student yang saya kenal.” Tuturnya
waktu itu. Saya hanya diam, karena kak hani bukan sedang bertanya, dan beliau
melanjutkan, “jalan yang lurus itu yaitu jalan yang ketika lalui membuat Allah
redha. Contohnya ketika sedang berjalan lalu bertemu kawan kita sapa dengan
senyuman sambal mengucap salam. Siapa tau orang yang kita sapa tadi sedang
dalam masalah dan dengan senyuman serta salam kita orang tersebut menjadi
merasa ada yang peduli dan merasa terhibur. Contoh kecil semacam itu lah menurut
kak hani jalan yang lurus.” Saya tersenyum dan mengiyakan.
Saya setuju
dengan yang kak hani sampaikan. Jalan yang lurus bisa kita maknai apa-apa yang
membuat Allah ridha. Dan ini sesuai dengan yang disampaikan oleh ustadz Radwan.
Bahwa setiap pejalan sudah disedikan Allah jalannya. Tinggal kita melewatinya dengan
benar atau tidak. Maka contoh seorang pejalan kaki, dia bisa saja angkuh
memandang tanpa senyum, tapi dia bisa juga memilih untuk senyum dan menyapa
saudaranya. Terutama ini bisa kita terapkan dengan tetap memandang
batas-batasnya.
Wallahu a’lam
bish showab..
Semoga tulisan
singkat ini bermanfaat… amiin
Allahumma
shalli wa sallim ‘alaa Muhammad…
Gombak, 22
November 2016
Posting Komentar